Monday 1 July 2013

Sang Buddha Teladan Sejati

Sang Buddha Teladan Sejati
Oleh: Bhikkhu Indadharo
Para bhikkhu, ada satu orang yang kemunculannya di dunia ini adalah demi kesejahteraan semua makhluk, demi kebahagiaan amat banyak makhluk, yang datang karena kasih sayang kepada dunia, untuk kebaikan, kesejahteraan serta kebahagiaan pada dewa dan manusia. Siapakah satu orang itu? Beliau adalah Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Telah Sepenuhnya Tercerahkan. (Aguttara Nikāya I, XIII; 1, 5, 6)
Di kehidupan bermasyarakat, kita tidak pernah lepas dari namanya masalah. Dalam menjalani masalah tersebut terkadang kita bisa mengatasinya dengan baik dan bijak namun juga tidak jarang kita menyelesaikannya dengan hal-hal yang justru membawa kerugian bagi diri kita sendiri. Sehingga dalam hidup ini kita juga membutuhkan keyakinan (Saddha) dan semangat (Viriya) dalam menjalani hidup di lautan samsara ini. Tetapi keyakinan yang dimaksud bukanlah keyakinan yang hanya dilandasi oleh rasa percaya begitu saja (secara membuta), di dalam Kalama Sutta Sang Buddha menjelaskan bahwa; “Jangan percaya hal apapun hanya karena kamu telah mendengarnya, jangan percaya begitu saja hanya karena hal itu telah dipergunjingkandan dibicarakan oleh banyak orang, jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu tertuis dalam kitab-kitab keagamaanmu, jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu dikatakan berdasarkan otoritas guru-guru dan sesepuh-sesepuhmu, jangan percaya tradisi apapun hanya karena tradisi itu telah diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya, tetapi seteah kamu observasi dan analisis, maka ketika kamu mendapati hal apapun sejalan dengan akal budimu dan menolongmu untuk mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi satu dan semua orang, maka terimalah dan jalankanlah.”

Untuk menumbuhkan keyakinan dan semangat dalam diri, terkadang kita juga membutuhkan orang lain yang bisa memberikan inspirasi dan keteladan. Sehingga kita bisa belajar dan meniru hal-hal baik dari orang tersebut. Jika kita membaca riwayat hidup Sang Buddha, maka kita akan menjumpai bermacam-macam aspek kehidupan beliau, yang memberikan insiprasi dan keteladanan dalam menyikapi berbagai macam masalah kehidupan yang dialami oleh semua manusia. Karena semua makhluk tidak akan terlepas dari kamma-nya masing-masing (entah itu kamma baik maupun kamma buruk). Seperti halnya Sang Buddha, walaupun  beliau telah sempurna, namun beliau juga tidak bisa terhindar dari akibat perbuatan buruk-Nya pada masa lampau. Seperti yang di ceritakan dalam Buddhajayamangala (delapan kemenangan Sang Buddha), “setelah memperbesar perutnya dengan potongan kayu seperi orang hamil, Cinca di tengah-tengah kerumunan banyak orang mengaku jika dirinya telah di hamili oleh Sang Buddha. Namun Sang Buddha dapat mengatasi dengan keteguhan yakni ke damaian batin.”
Hal ini bisa menjadi inspirasi bagi kita, dikala kita mendapat masalah seperti di fitah oleh orang lain, sehingga kita bisa menyelesikan dengan bijaksana tanpa menimbulkan masalah yang baru. Karena banyak orang, ketika mengalami suatu masalah seperti halnya di fitnah mereka menjadi gelisah, gusar, tidak tenang, takut, cemas dan sebagainya. Hal itu bukannya dapat mengurangi masalah yang ada, malah dapat menimbulkan  masalah yang baru bagi mereka.
Selain itu seperti Devadatta yang berusaha melakukan berbagai macam cara untuk membunuh Sang Buddha karena merasa hiri kepada beliau. Namun Sang Buddha tidak pernah membalasnya, hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh beliau  dalam Dhammapada (syair 5 Yamaka Vagga); “Kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi”.
Keteladanan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha tidak hanya setelah beliau mencapai penerangan sempurna tetapi dari beliau masih menjadi seorang Pangeran pun sudah menunjukan keteladanan.
Pangeran Siddhattha dikenal sebagai anak yang penuh cinta kasih dan welas asih terhadap sesama makhluk hidup. Beliau menyelamatkan kehidupan seekor belibis hutan yang pada waktu itu dipanah oleh sepupunya Devadatta. Tatkala Devadatta bersikeras meminta untuk menyerahkan belibis tersebut kepadanya dengan alasan bahwa itu adalah miliknya karena dia yang memanahnya, namun Pangeran Siddhattha tidak mau menyerahkannya dengan alasan apabila belibis itu telah mati, barulah dapat dikatakan belibis tersebut adalah kepunyaannya.  Karena kenyataan belibis itu masih hidup dan Beliaulah yang menolongnya, maka Devadatta tak berhak untuk memilikinya. Beliau berpendapat tak seorang pun di dunia ini yang boleh sewenang-wenang menghancurkan kehidupan makhluk hidup. Ini menunjukkan bahwa kehidupan makhluk hidup bukanlah milik orang yang ingin menghancurkannya melainkan milik orang yang menyelamatkannya.
Walaupun beliau seorang pangeran yang akan mewarisi tahta kerajaan, namun beliau tidak terlena oleh kesenangan duniawi, materi yang berlimpah ruah, kemewahan, kedudukan atau jabatan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang selalu terlena dengan kesenangan-kesenangan duniawi, kemewahan, dan kedudukan. Pangeran Siddhattha justru tidak di perbudak oleh kenikmatan duniawi, kemewahan, kedudukan atau kekuasaan sebagai pangeran. Ditengah-tengah kejayaan sebagai pangeran, justru Beliau menyadari adanya penderitaan umat manusia dan bertekad mencari jalan untuk membebaskan umat manusia dari penderitaan.
Setelah mengerti bahwa hidup ini diliputi oleh penderitaan, dimana setiap makhluk akan mengalami tua, sakit dan mati. Akhirnya beliau meningalkan istana untuk menemukan jalan (Dhamma) agar terbebas dari samsara, karena beliau memahami bahwa materi, kedudukan dan kekuasaan, semata-mata hanyalah kebahagiaan semu. Dengan tekad dan perjuangan yang gigih, bahkan sampi menyiksa diri selama 6 tahun, akhirnya petapa Gotama berhasil mencapai Pecerahan Agung. Jika tidak disertai pengertian benar, apabila seseorang memiliki materi yang berlimpah, kekuasaan dan kedudukan tinggi, itu hanya akan menjadi bencana yang dapat menghancurkan kehidupan sendiri dan banyak orang. Tanpa adanya tuntunan Dhamma, maka Nibbāna atau kebahagian sejati juga tidak akan tercapai. Oleh karena itu, tidak ada artinya jika kita hanya memikirkan materi, kedudukan dan kekuasaan saja. Sedangkan dalam keseharian kita tidak memiliki pengendalian diri yang baik; melalui pikiran, ucapan dan perbuatan. Apalah artinya semuanya itu kalau tidak digunakan untuk kepentingan, kesejahteraan, dan kebahagiaan orang banyak. Bagaimana mungkin dapat meraih Kebahagiaan Sejati? jika materi, kekayaan, kedudukan, atau kekuasaan yang dimiliki diperoleh dan digunakan dengan mengorbankan nilai-nilai moral, nilai-nilai kemanusiaan, serta merobek-robek harkat dan martabat umat manusia.
Setelah menjadi Buddha, beliau juga tidak lupa untuk membalas jasa orang tua-Nya dengan mengajarkan Dhamma hingga mencapai tingkat kesucian. Senantiasa berkelana dari satu dusun ke dusun yang lain, dari satu desa ke desa yang lain, dari satu kota ke kota yang lain dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain untuk membabarkan Dhamma kepada semua lapisan masyarakat tanpa memadang perbedaan kasta, keturunan, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, tingkatan sosial, kekayaan, kedudukan, kekuasaan dan yang lainnya. Namun beliau membabarkan Dhamma demi kesejahteraan, kebahagiaan, dan keselamatan banyak orang, dan lebih daripada itu beliau juga mengajarkan apa yang telah dilaksanakan dan melaksanakan apa yang diajarkan. Dengan kata lain, selain mengajarkan Dhamma secara teori, beliau juga memberikan teladan bagi umat manusia. Kenyataan ini yang memperlihatkan bahwa Sang Buddha adalah teladan sejati dan teladan agung bagi keluarga dan seluruh umat  manusia.
Tentu masih banyak hal yang bisa kita teladani dari Sang Buddha, selain apa yang diuraikan dalam ulasan ini. Namun dari ulasan ini betapa pentingnya sebuah keteladanan, selain belajar teori, petunjuk dan tuntunan Dhamma Sang Buddha. Jika kita di masyarakat mengharapkan masyarakat yang adil, damai dan makmur tentunya suatu keteladanan sangatlah dibutuhkan. Karena tidaklah  mungkin  suatu keadilan, kemakmuran dan kesejahtraan bisa terwujud jika generasi ini tidak memberikan teladan yang baik. Demikian pula jika para pemimpin atau para pejabat pemerintahan tidak jujur, korupsi, tidak bermoral, tentunya dapat dipastikan para bawahan dan rakyat pun akan terpengaruh dan ikut-ikutan. Namun sebaliknya, apabila para pemimpin atau para pejabat pemerintahan selalu melaksanakan berperilaku dengan baik, bertidak adil, jujur serta memberikan teladan bagi rakyatnya, maka para bawahan dan masyarakat pun akan menjadi  makmur dan sejahtra. Serta akan selalu dikenang sepanjang masa oleh masyarakat karena kebaikannya. Seperti yang terdapat dalam Dhammapada (syair ke 52 Puppha Vagga); “Harumnya bunga tak dapat melawan arah angin, begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan arah angin; harumnya nama orang bajik dapat menyebar keseluruh penjuru”.
Dalam mejalani kehidupan bermasyarakat, kita memang memerlukan contoh dan teladan yang baik. Hendakya kita tidak hanya berharap dan mengharapkan sosok tauladan dari orang lain, namun alangkah baiknya jika kita berusaha menjadi sosok yang tauladan dan memberikan contoh yang baik untuk orang lain. ^_^
Sumber:
Digha Nikaya terbitan Dhammacitta Press.
Kronologi Hidup Buddha oleh Bhikkhu Kusaladhamma
Kitab Suci Dhammapada terbitan Bahussuta Society
Paritta Suci terbitan Sangha Theravada Indonesia

No comments:

Post a Comment