Mengurai Kekusutan
Oleh: Drs. Ashin Kusaladhamma, B.A. (B.Dh.), M.M.
Pendahuluan
Saya telah melewati waktu sekurang-kurangnya sepuluh tahun di negara asing, di negara di mana orang pada umumnya memiliki persepsi negatif karena alasan ketidakstabilan politik di negara tersebut. Oleh orang-orang Inggris yang telah menjajah negara tersebut selama seratus tahun, mereka menyebutnya Burma, tetapi sekarang kita lebih mengenalnya dengan nama Myanmar. Berbeda dengan pendapat orang pada umumnya tersebut, saya justru sangat menyukai negara tersebut karena tidak saja saya dapat merasakan dan bergaul dengan komunitas masyarakat negara tersebut yang mayoritas umat Buddha tetapi juga saya dapat menimba pengetahuan tentang ajaran Buddha khususnya ajaran Theravada yang sangat terjaga kemurniannya yang saya sangat yakin melebihi apa yang ada di negara-negara Buddhist yang lainnya.
Selama periode waktu tersebut saya terbawa dalam arus dan tenggelam dalam kesederhanaan, ketulusan, kemurahhatian, keheningan, kejujuran, kegigihan, ketegaran, ataupun atribut lainnya yang sulit saya ungkapkan dari pola hidup masyarakat Myanmar. Semua itu telah saya rasakan dan memberikan kesan yang mendalam dan sulit untuk dihapuskan. Bagaimanapun juga saya harus pulang kembali ke Indonesia karena beberapa alasan. Saya sangat terpukau dengan situasi yang ada di Indonesia saat ini yang sangat berbeda dari apa yang dapat saya bayangkan sebelum menginjakkan kaki kembali di tanah Indonesia. Disamping hal-hal yang positif yang memberikan kemajuan, saya juga melihat pola hidup dan tingkah laku masyarakat Indonesia yang saya umpamakan sebagai telah terjerat dalam jalinan kekusutan yang sulit untuk diurai.
Saya melihat dan mendengar dari berita televisi, surat kabar, ataupun pembicaraan orang mengenai berbagai cara pemuasan kesenangan nafsu indriawi, kegarangan dalam berdemonstrasi, perebutan kekuasaan, bermacam-macam kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, pencurian, korupsi dari kelas teri sampai kelas paus yang terjadi. Saya sungguh kaget atas semuanya itu dan timbul pertanyaan dalam pikiran saya siapa yang mampu mengurai atau menuntaskan kekusutan masalah ini dan bagaimanakah caranya.
Khotbah tentang Kekusutan
Ada suatu kejadian menarik yang terjadi pada masa kehidupan Buddha Gotama lebih dari 2500 tahun yang lalu yang kemudian dituliskan dalam Saṁyutta Nikāya. Peristiwa tersebut ternyata juga mengungkapkan masalah kekusutan kehidupan makhluk hidup. Sebuah Sutta pendek dari Devatāsaṁyutta, dalam Sagātha Vagga Saṁyutta yang berjudul Jaṭā Sutta atau Khotbah tentang Kekusutan:
Pada suatu waktu ketika Buddha sedang tinggal di kota Sāvatthi, sesosok dewa mengunjungi Beliau pada waktu jaga kedua dan dengan berdiri di satu sisi yang layak ia bertanya dalam satu syair berikut:
Anto jaṭā bahi jaṭā, jaṭāya jaṭitā pajā;
Taṁ taṁ gotama pucchāmi, ko imaṁ vijaṭaye jaṭaṁ.
= Kekusutan di dalam kekusutan di luar,
Generasi ini terjerat di dalam kekusutan;
O, Gotama saya menanyakan pertanyaan ini,
Siapakah yang mampu mengurai kekusutan ini?
Apakah maksud dari pertanyaan yang diajukan dewa tersebut?
Dewa tersebut melihat bahwa makhluk hidup, bukan saja manusia tetapi juga para dewa dan makhluk yang lainnya, telah terjerat dalam jalinan kekusutan nafsu keinginan. Ia melihat bahwa nafsu keinginan tersebut terjadi dalam diri sendiri dan juga terjadi dalam diri orang lain. Jalinan kekusutan tersebut sudah sedemikian rumitnya sehingga ia tidak tahu lagi siapa yang mampu dan bagaimana mengurainya. Untuk itu ia mendatangi Buddha dan menanyakan hal itu.
Kita menyimak kembali bahwa kerumitan dan kekusutan yang terjadi pada saat ini yang melanda umat manusia atau generasi modern ini pada dasarnya memiliki akar yang sama dengan generasi masa lampau yaitu taṇhā atau keserakahan, kerakusan atau nafsu keinginan. Karena nafsu keinginan inilah maka segala jenis perbuatan dari yang bersifat tidak membahayakan orang lain tapi mungkin membahayakan bagi diri sendiri, sedikit membahayakan, hingga yang benar-benar membahayakan orang lain yang kita golongkan tindakan anarkis atau kejahatan muncul.
Nah, sekarang setelah kita mengetahui akar atau sebabnya, untuk itu bagaimana kita seharusnya bertindak agar tidak masuk dalam jalinan kekusutan nafsu keinginan yang lebih dalam dan buruk. Untuk itu marilah kita sebagai umat Buddha yang baik mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Guru Agung kita—Buddha. Dalam Jaṭā Sutta tersebut Buddha menjawab pertanyaan dewa tersebut dalam syair berikut:
Sīle patiṭṭhāya naro sapañño, cittaṁ paññañca bhāvayaṁ,
Ātāpi nipako bhikkhu, so imaṁ vijaṭaye jataṁ.
= Bila seorang yang bijaksana kokoh dalam moralitas,
Mengembangkan Kesadaran dan Kebijaksanaan;
Dan sebagai seorang bhikkhu yang bersemangat dan bijaksana,
Ia akan berhasil mengurai kekusutan ini
Dari syair tersebut Buddha memberikan petunjuk bahwa ada kemungkinan bagi seseorang untuk dapat terbebas dari jalinan kekusutan nafsu keinginan. Terdapat tiga hal yang harus dilakukan, yaitu:
(i) ia memperkokoh moralitas
(ii) ia mengembangkan kesadaran
(iii) ia mengembangkan kebijaksanaan
Tiga tingkat kekotoran batin (kilesa)
Sebelum kita membahas tentang bagaimana caranya mengembangkan moralitas, kesadaran dan kebijaksanan, kita perlu mengetahui bahwa terdapat tiga jenis kekotoran batin yang dapat menghancurkan reputasi kehidupan kita. Kekotoran batin ini sangat perlu kita waspadai karena mereka dapat menyerang siapa pun, kapan pun, dan dimana pun dalam derajat tingkatannya masing-masing dari yang bersifat kasar, sedang dan halus.
Tiga tingkat kekotoran batin (kilesa) tersebut, yaitu:
1. Kekotoran batin tingkat kecenderungan laten (Anusaya kilesa)
merupakan kekotoran batin yang tidak aktif dan bersifat laten atau terpendam. Ia “berbaring bersama dengan” proses pikiran yang sedang berlangsung dan akan muncul ke permukaan bilamana menemui kondisi yang sesuai.
Kalau saya mengajukan pertanyaan sederhana, “Apakah anda menemukan keserakahan dalam batin atau pikiran anda saat ini?” “Apakah anda menemukan kebencian dalam batin atau pikiran anda saat ini?”
Meskipun anda mungkin telah mencarinya dalam pikiran anda hingga kelelahan, anda tidak dapat menemukan satu pun sifat-sifat tidak baik itu. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa sifat-sifat tidak baik tersebut tidak ada. Mereka ada, akan tetapi pada saat ini hanya sebagai kekotoran batin yang bersifat laten yang berbaring bersama dengan keberlangsungan proses mental. Mereka akan selalu menyertai kita dari satu kelahiran kembali ke kelahiran kembali lainnya dan mengikat kita dalam roda perputaran kehidupan dan kematian (saṁsāra). Mereka ada tanpa tampak dan berada sebagai suatu potensi. Seperti potensi yang ada dalam setiap biji untuk menghasilkan tumbuhan dan dalam setiap tanaman untuk menghasilkan buah. Tumbuhan akan tumbuh dari biji jika terdapat kelembaban, dan buah akan muncul dari tumbuhan jika ada sinar matahari yang mendukungnya. Demikian pula kekotoran batin itu memiliki potensi untuk muncul jika bertemu dengan kondisi yang sesuai.
2. Kekotoran batin tingkat penggoda (Pariyuṭṭhāna kilesa)
merupakan kekotoran batin yang akan muncul bilamana pikiran tidak memberikan cukup perhatian padanya, pada saat yang kritis tersebut kekotoran batin menjadi aktif dan muncul ke permukaan sebagai penggoda.
Ketika kita melihat suatu object yang menarik, seringkali nafsu keinginan terhadap objek tersebut muncul dalam pikiran. Kekotoran batin berubah dari semula bersifat laten menjadi aktif pada indriya seseorang yang sekarang siap bertindak yaitu melakukan tindakan tidak baik melalui perbuatan jasmani dan ucapan. Demikian pula dengan kekotoran batin yang berakar kebencian dan kegelapan batin. Ketika kita melihat objek yang tidak kita senangi, timbul ketidaksukaan atau penolakan. Ketika kita melihat suatu objek tanpa mengetahui bahwa sifat dasarnya adalah tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa inti maka kebodohan batin muncul.
3. Kekotoran batin tingkat pelanggaran (Vītikkama kilesa)
merupakan kekotoran batin yang terwujud dalam tindakan-tindakan tidak baik yang dilakukan melalui badan jasmani, ucapan, dan pikiran.
Pembunuhan makhluk hidup, pencurian, dan tindakan asusila merupakan perbuatan buruk melalui badan jasmani (akusala kāyakamma). Penipuan, pemfitnahan, berkata kasar, dan berkata yang tidak berguna adalah perbuatan buruk melalui ucapan (akusala vacīkamma). Keserakahan, niat jahat, dan pandangan salah adalah perbuatan buruk melalui pikiran (akusala manokamma). Inilah sepuluh jenis perbuatan buruk (dasa akusalakammapatha) yang bersifat aktif.
Bagaimana seseorang memperkokoh moralitas?
Sekarang, bagaimanakah seseorang memperkokoh moralitasnya? Buddha mengajarkan empat macam latihan pengendalian diri untuk memperkokoh moralitas, yaitu:
1. Pātimokkhasaṁvarasīla
Pātimokkha adalah kode dasar dari peraturan kedisiplinan bagi para bhikkhu yang terdiri dari 227 aturan yang terbagi dalam tingkat keseriusan pelanggaran yang berbeda-beda. Saṁvara adalah pengekangan atau pengendalian, sedangkan sīla dapat diartikan sebagai latihan moralitas. Jadi, Pātimokkhasaṁvarasīlaadalah latihan moralitas dengan pengendalian diri menurut aturan-aturan kedisiplinan yang tertuang dalamPātimokkha.
Meskipun dalam Sutta di atas Buddha menyebutkan kata “bhikkhu” tetapi seyogyanya pernyataan itu dimengerti pula dalam arti yang luas sebagai “orang yang melihat bahaya dari roda perputaran kelahiran dan kematian (saṁsāra).”
Didalam lingkungan umat Buddha dikenal strata sosial, yaitu: perumah tangga dan yang meninggalkan kehidupan berumah-tangga. Pada umumnya mereka yang memilih hidup berumah tangga menjalankan apa yang dikenal sebagai Pañcasīla Buddhis atau lima latihan moralitas dengan tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup, tidak mengambil barang yang tidak diberikan, tidak melakukan perbuatan asusila, tidak berkata yang tidak benar, dan tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat menyebabkan lemahnya pikiran. Atau, mereka dapat menjalankan sīla yang lebih tinggi yaitu dengan meminta delapan latihan moralitas (aṭṭhasīla) pada hari uposatha.
Akan tetapi bagi mereka yang meninggalkan kehidupan berumah-tangga, mereka dapat memilih kehidupan menjadi seorang sāmaṇera dengan menjalankan sepuluh aturan pokok moralitas atau menjadi bhikkhu dengan menjalankan 227 Pātimokkha sīla bagi yang laki-laki. Sedangkan bagi para wanita, mereka dapat tinggal di vihara, mencukur rambutnya, dan menjalankan delapan atau sepuluh sīla dengan menjadianagārinī (atau sayalay dalam bahasa Myanmar). Pada saat ini dalam Buddha Sāsana khususnya Mashab Theravāda tidak ada lagi bhikkhunī saṁgha atau kelompok biarawati Buddhis karena telah terputusnya rantai silsilah dan karena tidak memungkinkan lagi untuk mantahbiskan wanita sebagai bhikkhunī menurut aturan kedisiplinan (Vinaya) yang telah digariskan oleh Buddha.
2. Indriyasaṁvarasīla
adalah latihan moralitas yang berkaitan dengan penerapan perhatian murni pada seseorang ketika berhadapan dengan objek-objek indriawi. Ia selalu waspada dan menerapkan perhatian bijaksana (yoniso manasikāra) ketika melihat objek, mendengar suara, mencium bau, mengecap rasa, merasakan sentuhan, dan ketika pikirannya bertemu dengan objek-objek mental. Dengan pengendalian indriya yang dilatihnya tersebut ia tidak terseret dalam hal-hal yang tidak menguntungkan seperti keserakahan dan kesedihan yang menyerangnya.
3. Ājīvapārisuddhisīla
adalah latihan moralitas yang berkaitan dengan cara-cara yang benar bagi seseorang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Seorang bhikkhu, sāmaṇera, atau anagārinī yang telah meninggalkan kehidupan berkeluarga hendaknya memiliki sikap hidup sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, ia tidak menjadi koruptor perumahtangga yaitu dengan melakukan cara-cara yang tidak pantas guna mendapatkan dukungan material dari mereka.
Bagi perumahtangga, ia menghindari lima jenis pekerjaan yang tidak menguntungkan seperti berdagang racun, makanan dan minuman yang memabukkkan, senjata, manusia sebagai budak, dan hewan untuk dipotong. Akan tetapi kiranya pada zaman sekarang telah muncul beraneka-ragam cara-cara penghidupan. Dalam hal ini kita harus mempertimbangkannya apakah tindakan tersebut hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri dan dapat merugikan orang lain. Bila demikian maka jenis pekerjaan tersebut juga merupakan cara penghidupan yang salah dan harus dihindari.
4. Paccayasannissitasīla
adalah moralitas yang berkaitan dengan perenungan atas tujuan bagi seorang bhikkhu dalam menggunakan empat kebutuhan pokoknya—jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Seorang bhikkhu yang tidak melakukan perenungan dalam menggunakan empat kebutuhan pokoknya disebut menggunakan sebagai penghutang (īṇa paribhoga), ia akan mendapat celaan. Meskipun tidak demikian bagi perumahtangga, akan tetapi dengan melakukan perenungan semacam itu, mereka akan mendapat manfaat positif seperti mudah merasa puas, jauh dari iri hati, tidak serakah, tidak murung karena tidak mendapatkan, atau bahkan ia dapat menjadi murah hati dengan membagikan harta kekayaannya bagi yang berkekurangan demi kesejahteraan banyak orang.
Bagaimana seseorang mengembangkan kesadaran?
Yang dimaksudkan dengan mengembangkan kesadaran disini adalah pengembangan konsentrasi. Dan untuk mengembangkan konsentrasi kita harus berlatih meditasi ketenangan batin (samathabhāvana). Buddha mengajarkan empat puluh macam objek meditasi ketenangan batin. Tiga puluh objek diantaranya bila dikembangkan akan mengarahkan pada pencapaian konsentrasi absorpsi (appanā samādhi). Objek tersebut antara lain: kasiṇa tanah, kasiṇa air, kasiṇa putih, kasiṇa biru, dan lain-lain; atau keluar-masuknya nafas (ānāpānassati), mayat (asubha), dan lain-lain. Sedangkan sepuluh sisanya hanya pada pencapaian konsentrasi tetangga (upacāra samādhi); objeknya antara lain: empat unsur (unsur tanah, air, api, udara). Konsentrasi absorpsi adalah tingkat konsentrasi mendalam yang ditandai dengan pencapaian tingkat-tingkat jhāna, sedangkan konsentrasi tetangga merupakan tingkat konsentrasi yang sangat dekat dengan konsentrasi absorpsi.
Konsentrasi Benar (Sammā Samādhi) adalah salah satu unsur dari Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Aṭṭhaṅgika Magga) yang dibabarkan oleh Buddha. Apakah ‘Konsentrasi Benar?’ Di dalam buku Visuddhimagga (Jalan Kesucian) yang ditulis oleh Bhadanta Buddhaghosa, menjelaskan bahwa ‘Konsentrasi Benar’ adalah konsentrasi tetangga (upacāra samādhi) dan delapan pencapaian (aṭṭha samāpatti) yang tidak lain adalah pencapaian konsentrasi absorpsi alam materi halus dan alam tanpa materi (rūpa dan arūpa jhāna). Konsentrasi Benar adalah sangat penting, karena tanpanya adalah mustahil untuk memahami dan melihat segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Ini adalah bagi samathayānika yogi, yaitu pemeditasi yang mengembangkan meditasi ketenangan batin hingga tingkat konsentrasi tetangga atau konsentrasi absorpsi sebagai dasar untuk mengembangkan pandangan terang. Dengan tercapainya tingkat konsentrasi tersebut ia mendapatkan pemurnian kesadaran (citta visuddhi).
Bagi suddhavipassanāyānika yogi yaitu pemeditasi yang menggunakan kendaraan meditasi pandangan terang murni, ia tidak melakukan pengembangan ketenangan batin sebagai dasar pengembangan pandangan terangnya. Dalam hal ini ia menggunakan perhatian murninya untuk secara langsung masuk dan mengamati proses perubahan batin dan materi (nāma dan rūpa). Ketika pengamatan ini dilakukan terus menerus maka akan mendapatkan kekuatan dan keseksamaan. Pikiran menjadi terkonsentrasi secara alami pada arus pengalaman yang selalu berubah dengan suatu tingkat konsentrasi yang sederajat dengan konsentrasi tetangga. Penempatan pikiran saat demi saat pada proses batin dan materi itu disebut dengan konsentrasi sesaat (khaṇikasamādhi). Karena ia meliputi suatu tingkat stabilitas konsentrasi yang setara dengan konsentrasi tetangga, maka konsentrasi sesaat (khaṇikasamādhi) ini dipandang sebagai pemurnian kesadaran (citta visuddhi) bagi suddhavipassanāyānika yogi.
Apakah manfaat yang diperoleh dengan mengembangkan ketenangan batin (samatha)? Dalam Samādhi Sutta dari Khandhasaṁyutta, Khandhavagga–Saṁyutta Nikāya, Buddha mendorong kita untuk mengembangkan konsentrasi dengan menunjukkan manfaatnya. Beliau berkata:
‘‘Samādhiṃ, bhikkhave, bhāvetha; samāhito, bhikkhave, bhikkhu yathābhūtaṃ pajānāti. Kiñca yathābhūtaṃ pajānāti? Rūpassa samudayañca atthaṅgamañca, vedanāya samudayañca atthaṅgamañca, saññāya samudayañca atthaṅgamañca, saṅkhārānaṃ samudayañca atthaṅgamañca, viññāṇassa samudayañca atthaṅgamañca’’.
= “O para bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi. O para bhikkhu, seorang bhikkhu yang (pikirannya) terkonsentrasi dapat memahami dan melihat (segala sesuatu) sebagaimana apa adanya. Dan apakah yang ia pahami dan lihat sebagaimana apa adanya?
(1) Muncul dan lenyapnya materi
(2) Muncul dan lenyapnya perasaan
(3) Muncul dan lenyapnya pencerapan
(4) Muncul dan lenyapnya bentukan kamma
(5) Muncul dan lenyapnya kesadaran.”
Dengan demikian seseorang yang pikirannya terkonsentrasi dapat memahami lima kelompok (pañcakkhandha) dan sebabnya, bersama dengan muncul dan lenyapnya. Ia melihat dengan jelas bahwa karena kemunculan penyebabnya lima kelompok muncul, dan karena penyebabnya terlenyap, lima kelompok juga lenyap.
Lebih dari itu dalam Samādhi Sutta dari Saccasaṁyutta, Mahāvagga–Saṁyutta Nikāya, Buddha juga menyatakan manfaat pengembangan konsentrasi dengan cara lain. Beliau berkata:
‘‘Samādhiṃ, bhikkhave, bhāvetha. Samāhito, bhikkhave, bhikkhu yathābhūtaṃ pajānāti. Kiñca yathābhūtaṃ pajānāti? ‘Idaṃ dukkha’nti yathābhūtaṃ pajānāti, ‘ayaṃ dukkhasamudayo’ti yathābhūtaṃ pajānāti, ‘ayaṃ dukkhanirodho’ti yathābhūtaṃ pajānāti, ‘ayaṃ dukkhanirodhagāminī paṭipadā’ti yathābhūtaṃ pajānāti. Samādhiṃ, bhikkhave, bhāvetha. Samāhito, bhikkhave, bhikkhu yathābhūtaṃ pajānāti’’.
= “O para bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi. O para bhikkhu, seorang bhikkhu yang (pikirannya) terkonsentrasi dapat memahami dan melihat (segala sesuatu) sebagaimana apa adanya. Dan apakah yang ia pahami dan lihat sebagaimana apa adanya?
(1) Ia memahami dan melihat (segala sesuatu) sebagaimana apa adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’
(2) Ia memahami dan melihat (segala sesuatu) sebagaimana apa adanya: ‘Ini adalah sebab dari penderitaan.’
(3) Ia memahami dan melihat (segala sesuatu) sebagaimana apa adanya: ‘Ini adalah akhir dari penderitaan.’
(4) Ia memahami dan melihat (segala sesuatu) sebagaimana apa adanya: ‘Ini adalah jalan menuju akhir dari penderitaan.’
“O para bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi. O para bhikkhu, seorang bhikkhu yang (pikirannya) terkonsentrasi dapat memahami dan melihat (segala sesuatu) sebagaimana apa adanya.”
Dengan demikian kita dapat melihat betapa pentingnya pengembangan konsentrasi karena akan membimbing kita pada pemahaman langsung empat kebenaran mulia (cattāri ariyasaccāni). Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa pengembangan konsentrasi yang memberikan hasil pemurnian kesadaran akan memberikan pemahaman langsung pada empat kebenaran mulia, bagaimanapun juga pengembangan konsentrasi menjadi landasan yang kuat bagi seseorang dalam usaha selanjutnya mengembangkan kebijaksanaan.
Bagaimana seseorang mengembangkan kebijaksanaan?
Mengembangkan kebijaksanaan yang dimaksudkan disini adalah pengembangan pandangan terang. Setelah seseorang mencapai tingkat pemurnian kesadaran dengan pengembangan konsentrasi maka ia harus melanjutkan usahanya dengan bermeditasi pandangan terang (vipassanābhāvana). Dalam ber-vipassanā kita mengamati ketidak-kekalan (anicca), penderitaan (dukkha), dan sifat tanpa aku, jiwa, roh, atau inti yang kekal (anatta) dari batin dan jasmani (nāma dan rūpa), dan penyebabnya.
Buddha mengajarkan kepada kita cara berlatih meditasi pandangan terang secara terstruktur dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta dari Mahāvagga–Dīgha Nikāya. Sutta tersebut pada intinya merupakan ajaran pengembangan empat landasan perhatian murni (cattāro satipaṭṭhāna), yaitu:
(1) Perenungan tubuh (kāyanupassanā satipaṭṭhāna) yang merupakan penerapan perhatian murni pada kelompok materi (rūpakkhandha).
(2) Perenungan perasaan (vedanānupassanā satipaṭṭhāna) yang merupakan penerapan perhatian murni pada kelompok perasaan (vedanākkhandha).
(3) Perenungan kesadaran (cittānupassanā satipaṭṭhāna) yang merupakan penerapan perhatian murni pada kelompok kesadaran (viññāṇakkhandha).
(4) Perenungan objek-objek mental (dhammānupassanā satipaṭṭhāna) yang merupakan penerapan perhatian murni pada kelompok pencerapan (saññākkhandha) dan bentuk-bentuk mental (saṅkhārakkhandha).
Empat landasan perhatian murni ini adalah ‘satu-satunya jalan’ (ekāyano maggo) yang harus ditempuh untuk mendapatkan tujuh manfaat, yaitu:
(1) untuk pemurnian makhluk hidup (sattānaṁ visuddhiyā)
(2) untuk mengatasi kesedihan (soka...)
(3) untuk mengatasi ratap tangis (paridevānaṁ samatikkamāya)
(4) untuk menghilangkan penderitaan jasmani (dukkha...)
(5) untuk menghilangkan penderitaan mental (domanassānaṁ atthaṅgamāya)
(6) untuk mencapai jalan yang benar (ñāyassa adhigamāya)
(7) untuk merealisasikan Nibbāna (Nibbānassa sacchikiriyāya)
Demikianlah setelah memurnikan moralitasnya seseorang harus mengembangkan konsentrasi, dan setelah memurnikan kesadarannya dengan berlatih konsentrasi, ia harus berlatih dalam pengembangan kebijaksanaan.
Peran penting perhatian murni (sati)
Apabila kita menjaga perhatian murni, maka kekotoran batin akan dapat ditekan dengan demikian kita dapat menghindari perbuatan yang tidak baik. Akan tetapi bilamana kita kurang memiliki perhatian murni, maka “penggoda” muncul secara cepat dan segera mendorong munculnya perbuatan buruk melalui salah satu dari tiga pintu tersebut sehingga tingkat pelanggaran pun terjadi.
Disini perhatian murni (sati) memiliki peranan yang sangat penting dalam berbagai macam aktivitas yang kita lakukan, seperti ketika kita sedang bekerja, berbicara, membaca, melakukan aktivitas rutin sehari-hari, berinteraksi dengan orang-orang, berhubungan dengan hal-hal baru, dan lain-lain, dan apalagi dalam bermeditasi, perhatian murni merupakan faktor mental yang harus dikembangkan dengan kuat dan berkesinambungan. Apabila kita tidak memiliki perhatian murni yang cukup maka kita menjadi berperhatian tidak bijaksana (ayoniso manasikāra) dalam memutuskan suatu tindakan dan ini berakibat munculnya tindakan yang bersifat tidak baik (akusala kamma). Akan tetapi apabila kita memiliki perhatian murni yang kokoh maka kita menjadi berperhatian bijaksana (ayoniso manasikāra) dalam memutuskan suatu tindakan dan ini berakibat munculnya tindakan yang bersifat baik (kusala kamma).
Manfaat mengembangkan moralitas, kesadaran, dan kebijaksanaan
Dengan menjalankan empat latihan moralitas di atas maka seseorang dapat mengatasi kekotoran batin yang timbul dari pelanggaran moralitas (vītikkama kilesa) dan mencapai tingkat yang disebut sebagai “pemurnian moralitas” (sīla visuddhi), ia menjadi kokoh dalam moralitas.
Dengan melatih dan mengembangkan konsentrasi (samādhi) melalui meditasi ketenangan batin (samatha bhāvana) maka seseorang dapat mengatasi kekotoran batin yang bersifat penggoda (pariyuṭṭhāna kilesa). Ia akan mencapai tingkat “pemurnian kesadaran” (citta visuddhi) dan menjadi kokoh dalam konsentrasi.
Dengan hanya mengembangkan kebijaksanaan melalui meditasi pandangan teranglah maka seseorang dapat mengkikis kekotoran batin yang bersifat terpendam (anusaya kilesa), karena dengan meditasi pandangan terang (vipassana bhāvana) dan dengan tercapainya tingkat “pemurnian melalui pengetahuan dan visi” (ñāṇadassana∙visuddhi) dimana kita memperoleh pengetahuan tentang jalan supraduniawi (maggañāṇa) maka pada saat itu kita akan mampu mencabut sampai ke akar-akarnya penyebab dari segala jalinan kekusutan yang melanda kehidupan ini yaitu kegelapan batin (avijjā) dan nafsu keinginan, keserakahan atau kerakusan (taṇhā) tersebut secara bertahap hingga tuntas.
Penutup
Demikianlah Buddha memberikan jalan bagi semua orang untuk mengurai kekusutan yang melanda dunia yaitu dengan mengembangkan moralitas (sīla), mengembangkan kesadaran (samādhi), dan mengembangkan kebijaksanaan (paññā).
Pembersihan dari kekotoran tingkah laku ditunjukkan dengan Sīla; pembersihan dari kekotoran nafsu keinginan ditunjukkan dengan Samādhi; dan pembersihan dari kekotoran-kekotoran pandangan salah ditunjukan dengan Paññā. Penglepasan kekotoran batin dengan menggantikannya dengan sifat-sifat yang berlawanan dari kekotoran batin ditunjukkan dengan Sīla; dengan penekanan ditunjukkan dengan Samādhi; dan dengan pencabutan menyeluruh ditunjukkan dengan Paññā.
Ajaran (Dhamma) yang telah dibabarkan oleh Buddha adalah demi manfaat semua makhluk. Setelah kita melihat adanya kekusutan dan mengetahui penyebabnya, maka sebaiknyalah kita sebagai umat Buddha yang baik berusaha untuk tidak terjerat dalam jaringan kekusutan nafsu keinginan dengan menjalankan Dhamma–Ajaran Buddha sehingga akhirnya kita akan terlepas sama sekali dari semua jaringan kekusutan dengan tercapai Kebahagiaan Tertinggi Nibbāna.
Semoga pembabaran Dhamma yang ringkas ini dapat menjadi bahan perenungan, sarana acuan untuk berlatih, dan studi yang lebih mendalam tentang Ajaran-Ajaran Buddha.
Terima kasih atas Dhamma yang indah pada awal, pada pertengahan, dan pada akhirnya ini. Saya mendapat manfaat dengan membacanya dan ingin mendapatkan manfaat lebih banyak dengan mempraktekannya.
ReplyDeleteTerima kasih atas Dhamma yang indah pada awal, pada pertengahan, dan pada akhirnya ini. Saya mendapat manfaat dengan membacanya dan ingin mendapatkan manfaat lebih banyak dengan mempraktekannya.
ReplyDelete