Dalam literature Tipitaka,
berkenaan dengan riwayat hidup Buddha, diceritakan bahwa pada suatu ketika
Buddha sedang menetap di Hutan Bambu Veluvana, tempat tersebut adalah hasil
dari kedermawanan seorang raja yang bernama Bimbisara. Raja Bimbisara merupakan
raja pertama yang menyatakan untuk menjadi penyokong dan pengikut Buddha.
Malam itu raja Bimbisara melewati
malam yang sangat mengerikan seumur hidupnya. Ia tidak bisa tidur karena
mendengar lengkingan dan suara-suara hantu
(peta) yang mengerikan di sekitar kediaman sepanjang malam. Menghadapi
kenyataan itu Ia menjadi sangat ketakutan, hingga bulu kuduknya berdiri, rambut
menjadi tegak. Ia sungguh ketakutan di malam itu. Karena merasa sangat
menderita, pada pagi harinya Raja menemui Buddha, di kediaman-Nya Veluvana.
Sebelum Raja menanyakan akan hal
menakutkan yang Ia alami, terlebih dahulu Buddha menanyakan tentang hal yang
dialaminya. Buddha memberi nasihat kepada raja untuk tidak merasa takut,
kejadian tersebut dikarenakan beberapa keluarga dari Raja dimasa lampau ada
yang terlahir di alam menderita (peta). Mereka mengharapkan pelimpahan jasa
dari masa ke masa, bahkan sejak masa Buddha yang lampau. Setelah bertemu dengan
masa Buddha lagi, yaitu Buddha Gotama, karena rasa suka cita raja melayani
Buddha dalam hal jamuan makan, Raja lupa melimpahkan jasanya kepada sanak
keluarga yang telah meninggal. Dengan sebab itulah para hantu mengeluarkan
suara yang menyeramkan yang mengakibatkan Raja sangat menderita.
Mendengar hal itu kemudian Raja
Bimbisara dengan segera menyatakan undangan jamuan kepada Buddha dan para
Bhikkhu. Dengan tujuan, jasa yang nantinya diperoleh akan dilimpahkan kepada
sanak keluarga, para leluhur yang telah meninggal. Dengan harapan; “semoga atas
jasa yang Ku lakukan ini, dapat mengkondisikan sanak keluarga dan para leluhur
yang telah meninggal terlahir di alam yang bahagia”.
Atas kejadian tersebut setiap
kali raja melakukan jasa kebajikan, Ia selalu melimpahkan jasa kebajikannya,
dan berharap semoga para leluhur dan semua mahkluk hidup berbahagia.
Dari kisah nyata di masa Buddha
tersebut sampai saat ini, Pattidana masih tetap di lakukan turun temurun oleh
umat Buddha dengan pengertian benar. Tujuannya adalah untuk menunjukan bentuk
bakti kepada para leluhur yang sudah meninggal.
No comments:
Post a Comment