Tuesday, 29 March 2016

Sejarah Pattidana Ching Ming (Ceng Beng) dalam ajaran Buddha

Dalam literature Tipitaka, berkenaan dengan riwayat hidup Buddha, diceritakan bahwa pada suatu ketika Buddha sedang menetap di Hutan Bambu Veluvana, tempat tersebut adalah hasil dari kedermawanan seorang raja yang bernama Bimbisara. Raja Bimbisara merupakan raja pertama yang menyatakan untuk menjadi penyokong dan pengikut Buddha.

Malam itu raja Bimbisara melewati malam yang sangat mengerikan seumur hidupnya. Ia tidak bisa tidur karena mendengar lengkingan dan suara-suara hantu  (peta) yang mengerikan di sekitar kediaman sepanjang malam. Menghadapi kenyataan itu Ia menjadi sangat ketakutan, hingga bulu kuduknya berdiri, rambut menjadi tegak. Ia sungguh ketakutan di malam itu. Karena merasa sangat menderita, pada pagi harinya Raja menemui Buddha, di kediaman-Nya Veluvana.

Sebelum Raja menanyakan akan hal menakutkan yang Ia alami, terlebih dahulu Buddha menanyakan tentang hal yang dialaminya. Buddha memberi nasihat kepada raja untuk tidak merasa takut, kejadian tersebut dikarenakan beberapa keluarga dari Raja dimasa lampau ada yang terlahir di alam menderita (peta). Mereka mengharapkan pelimpahan jasa dari masa ke masa, bahkan sejak masa Buddha yang lampau. Setelah bertemu dengan masa Buddha lagi, yaitu Buddha Gotama, karena rasa suka cita raja melayani Buddha dalam hal jamuan makan, Raja lupa melimpahkan jasanya kepada sanak keluarga yang telah meninggal. Dengan sebab itulah para hantu mengeluarkan suara yang menyeramkan yang mengakibatkan Raja sangat menderita.

Mendengar hal itu kemudian Raja Bimbisara dengan segera menyatakan undangan jamuan kepada Buddha dan para Bhikkhu. Dengan tujuan, jasa yang nantinya diperoleh akan dilimpahkan kepada sanak keluarga, para leluhur yang telah meninggal. Dengan harapan; “semoga atas jasa yang Ku lakukan ini, dapat mengkondisikan sanak keluarga dan para leluhur yang telah meninggal terlahir di alam yang bahagia”.

Atas kejadian tersebut setiap kali raja melakukan jasa kebajikan, Ia selalu melimpahkan jasa kebajikannya, dan berharap semoga para leluhur dan semua mahkluk hidup berbahagia.

Dari kisah nyata di masa Buddha tersebut sampai saat ini, Pattidana masih tetap di lakukan turun temurun oleh umat Buddha dengan pengertian benar. Tujuannya adalah untuk menunjukan bentuk bakti kepada para leluhur yang sudah meninggal.

No comments:

Post a Comment