KULĀVAKA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Biarkan semua anak burung di hutan,” dan seterusnya. Kisah ini
diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu
yang minum tanpa menyaring airnya terlebih dahulu66.
Menurut kisah yang diceritakan secara turun temurun, dua orang
bhikkhu muda yang saling bersahabat meninggalkan Sawatthi menuju sebuah desa,
di sana mereka tinggal di suatu tempat yang menyenangkan. Setelah menetap
beberapa saat, mereka meninggalkan tempat itu menuju ke Jetawana, untuk
mengunjungi Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha).
Hanya salah seorang dari mereka yang membawa saringan air, yang
seorang lagi tidak membawanya, maka mereka berdua menggunakan saringan yang
sama sebelum minum. Suatu hari mereka bertengkar. Pemilik saringan tidak mau
meminjamkan saringan itu kepada temannya, ia menyaring dan meminum sendiri air
yang telah disaringnya itu.
Karena temannya tidak mau memberikan saringan itu, dan karena ia
tidak mampu menahan rasa haus yang menyerangnya, ia minum air tanpa disaring
terlebih dahulu. Akhirnya tibalah mereka di Jetawana, dan segera memberikan
salam dengan penuh penghormatan kepada Sang Guru sebelum duduk. Setelah menyapa
mereka dengan ramah, Beliau bertanya dari manakah mereka berdua datang.
“Bhante,” jawab mereka, “kami menetap di sebuah dusun kecil di
Negeri Kosala sebelum kami datang untuk mengunjungi Anda.” “Apakah kalian
berdua masih bersahabat seperti saat kalian memulai perjalanan?” Bhikkhu yang
tidak membawa saringan berkata, “Bhante, kami bertengkar di tengah perjalanan
dan ia tidak mau meminjamkan saringannya kepada saya.” Bhikkhu yang satunya
lagi berkata, “Bhante, ia tidak menyaring air minumnya, namun – dengan sadar –
ia minum air beserta semua makhluk hidup yang terkandung di dalamnya.”
“Benarkah laporan itu, Bhikkhu, bahwa kamu dengan sadar minum air beserta semua
makhluk hidup yang terkandung di dalamnya?” “Benar, Bhante, saya minum air yang
belum disaring,” jawab bhikkhu itu. “Bhikkhu, ia yang bijak dan penuh kebaikan
di kehidupan yang lampau, saat terbang menjauh di sepanjang tempat yang tinggi
ketika harus menyerahkan kekuasaan atas kota para dewa, pikiran akan adanya
cemoohan karena membunuh makhluk hidup demi menyelamatkan kekuasaan mereka,
membuat mereka lebih baik memutar kereta perang, mengabaikan kejayaan mereka
dengan tujuan menyelamatkan nyawa para garuda67 muda.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau
menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
[199] Pada suatu waktu ada seorang Raja Magadha yang memerintah
di Rājagaha, Negeri Magadha. Sebagaimana ia yang saat ini merupakan Sakka,
lahir pada kelahiran sebelumnya di sebuah dusun kecil di Macala, Negeri
Magadha. Itu adalah dusun kecil yang sama dalam setiap kelahirannya. Masa itu,
Bodhisatta terlahir sebagai seorang bangsawan muda. Ketika saat pemberian nama
tiba, ia diberi nama ‘Pemuda Magha’, setelah dewasa ia dikenal sebagai
‘Brahmana Muda Magha’. Orang tuanya memilihkan seorang istri untuknya, yang
berasal dari kasta yang sama dengan mereka; dan dia, dengan sebuah keluarga
berupa anak lelaki dan perempuan, yang tumbuh besar bersamanya, unggul dalam
berdana dan selalu menjaga lima latihan moralitas.
Desa itu hanya ditempati oleh tiga puluh keluarga. Suatu hari,
para lelaki berdiri di tengah desa mengadakan pertemuan antar penduduk desa.
Setelah membersihkan debu di sekitar tempatnya berdiri, Bodhisatta berdiri
dengan nyamannya di sana, namun seseorang datang dan merebut tempat berdirinya.
Ia membersihkan tempat yang lain agar dapat berdiri dengan nyaman, — hanya
untuk direbut oleh orang lain sebagaimana kejadian sebelumnya. Ia mengulangi
hal itu lagi dan lagi, hingga akhirnya ia memberikan tempat berdiri yang nyaman
pada semua orang yang berada di sana. Di waktu yang lain, ia membangun sebuah
paviliun, — yang kemudian diruntuhkannya kembali, ia membangun sebuah balai
desa dengan kursi-kursi dan kendi air di dalamnya. Di lain kesempatan, ketiga
puluh lelaki itu dibimbing oleh Bodhisatta menjadi sejalan dengannya; ia
mengukuhkan mereka dalam lima latihan moralitas, kemudian bersama mereka
melakukan perbuatan baik lainnya. Saat mereka melakukan perbuatan-perbuatan
baik, di bawah bimbingan Bodhisatta, mereka biasanya bangun pagi-pagi dan
memulai perjalanan, dengan membawa pisau, kapak dan tongkat di tangan mereka.
Tongkat itu mereka gunakan untuk menyingkirkan batu-batu yang berserakan di
perempatan jalan utama serta jalan-jalan lainnya yang ada di desa itu;
pohonpohon yang bisa tertabrak oleh roda kereta, mereka tebang; jalanan yang
berlubang mereka ratakan; mereka membangun jalan lintasan yang tinggi, menggali
tempat penampungan air, dan membangun balai desa. Mereka melakukan praktik
berdana dan menjaga lima latihan moralitas. Para penduduk desa bertindak
bijaksana karena ajaran Bodhisatta dan karena latihan yang mereka jalankan.
Kepala desa kemudian berpikir, “Saat orang-orang ini masih suka
mabuk dan melakukan pembunuhan, serta hal-hal buruk lainnya, saya bisa
mendapatkan uang dari minuman keras yang mereka minum, serta dari denda dan upeti
yang mereka bayar. Namun sekarang, Brahmana Muda Magha bertekad membuat mereka
menjalankan latihan; ia membuat mereka berhenti membunuh dan melakukan
perbuatan jahat lainnya.”
[200] Dengan penuh kemarahan ia berseru, “Aku akan membuat
mereka menjalankan lima latihan moralitas itu!” Ia menghadap raja dan berkata,
“Paduka, ada segerombolan perampok yang akan merampok desa-desa dan berusaha
menyusupkan penjahat-penjahat lainnya ke desa.” Mendengar hal itu, raja meminta
kepala desa membawa orang-orang itu menghadapnya. Pergilah kepala desa itu
untuk menangkap ketiga puluh lelaki itu dan menyatakan bahwa mereka adalah
penjahat-penjahat itu di hadapan raja. Tanpa menyelidiki apa yang (sebenarnya)
telah mereka perbuat, raja memberi perintah bahwa mereka semua mendapat hukuman
mati diinjak oleh gajah. Untuk itu, mereka dibawa ke halaman istana dan gajah
pun di kirim ke sana. Bodhisatta menasihati mereka dengan berkata, “Tetaplah
ingat latihan-latihan itu; cintai orang yang telah memfitnahmu, raja dan juga
gajah itu seperti kalian mencintai diri kalian sendiri.” Demikianlah yang
dilakukan oleh mereka.
Seekor gajah masuk ke halaman istana untuk menginjak mati
mereka. Para pengawal berusaha menuntun gajah itu sedekat mungkin dengan
mereka, namun gajah itu menolak, hewan itu menjauh sambil mengeluarkan suara
yang keras. Satu demi satu gajah dibawa ke halaman istana;— namun semuanya
melakukan tindakan yang sama seperti gajah pertama. Menduga mereka pasti
membawa ramuan tertentu, raja meminta agar mereka diperiksa. Pemeriksaan segera
dilakukan sesuai dengan perintah raja, namun mereka tidak menemukan apa pun;
hal itu kemudian dilaporkan kepada raja. “Mereka pasti membaca mantra
tertentu,” kata raja, “tanyakan apakah ada mantra yang mereka bacakan.”
Pertanyaan itu diajukan kepada mereka, Bodhisatta mengatakan
bahwa mereka memang memiliki mantra. Para pengawal menyampaikan hal tersebut
kepada raja mereka. Maka raja mengumpulkan mereka di hadapannya dan berkata,
“Beri tahukan mantramu kepada saya.”
Bodhisatta menjawab, “Paduka, kami hanya mempunyai satu mantra,
bahwa tidak seorang pun di antara kami yang melakukan pembunuhan, atau
mengambil sesuatu yang tidak diberikan kepada kami, atau melakukan perbuatan
yang tidak senonoh, atau berdusta, kami tidak minum minuman keras; kami dipenuhi
dengan rasa cinta terhadap kebajikan; menunjukkan kebaikan hati, kami meratakan
jalanan, menggali tempat penampungan air, membangun balai desa;— inilah mantra
kami, pelindung kami dan sumber kekuatan kami.”
Merasa puas dengan jawaban dan tindakan mereka, Raja
menganugerahkan kemakmuran yang ada di rumah tukang fitnah itu dan
menjadikannya sebagai pelayan mereka; Raja juga memberikan gajah serta desa itu
kepada mereka sebagai tambahan.
Selanjutnya, mereka terus melakukan perbuatan kebajikan sesuai dengan
keinginan hati mereka; seorang tukang kayu diminta untuk membangun sebuah balai
besar di perempatan jalan utama. Namun [201] karena mereka telah tidak memiliki
hasrat terhadap wanita, mereka tidak mengizinkan wanita untuk mengambil bagian
dalam kebajikan yang mereka lakukan itu.
Sementara itu, di rumah Bodhisatta terdapat empat orang wanita,
mereka adalah Sudhammā, Cittā, Nandā, dan Sujā. Saat Sudhammā berada sendirian
dengan tukang kayu itu, ia memberikan uang kepada tukang kayu itu dan berkata,
“Saudaraku, usahakan untuk menjadikan saya sebagai orang penting yang
berhubungan dengan pembangunan balai ini.”
“Baik,” jawab tukang kayu itu, dan sebelum memulai pekerjaan
lain dalam pembangunan balai itu, ia mengerjakan beberapa batang kayu untuk
dijadikan menara, ia menghiasi, melubangi dan merakit kayu-kayu itu menjadi
sebuah menara yang siap pakai. Hasil karyanya itu ditutupi dengan sehelai kain
dan diletakkan di pinggir. Ketika pembangunan balai telah selesai, dan tiba
saatnya untuk memasang menara, ia berseru, “Astaga, Tuanku, masih ada satu
bagian yang belum kita kerjakan.” “Apa itu?” “Begini, kita harus mempunyai
sebuah menara.” “Baiklah, buatkanlah satu!” “Namun menara tidak bisa dibuat
dari kayu yang masih basah; kita harus memiliki kayu yang telah ditebang
beberapa waktu yang lalu, dihias dan dilubangi serta dikeringkan.” “Baiklah,
apa yang harus kita lakukan sekarang ?” “Sebaiknya kita melihat apakah ada
orang yang mempunyai benda seperti itu di rumah mereka, sebuah menara siap
pakai yang dibuat untuk dijual.” Saat mereka mencari di sekitar tempat itu,
mereka menemukan satu di rumah Sudhammā, namun ia tidak mau menjualnya. “Jika
kalian bersedia menjadikan saya sebagai rekanan kalian dalam melakukan
kebajikan,” katanya, “saya akan memberikannya kepada kalian secara cuma-cuma.”
“Tidak,” jawab mereka, “kami tidak mau ada wanita yang turut
ambil bagian dalam kebajikan ini.”
Tukang kayu itu berkata, “Tuan-tuan, apa yang Anda katakan?
Bahkan sampai ke alam brahma, tidak ada tempat dimana tidak ada wanita. Ambillah
menara itu dan pekerjaan kita akan segera selesai.”
Setelah mendapat persetujuan, mereka mengambil kayu menara itu
dan menyelesaikan balai tersebut. Kursi-kursi diletakkan dan kendi-kendi air
ditempatkan di dalamnya, di sana juga selalu tersedia nasi yang masih hangat.
Mereka membangun sebuah dinding dengan sebuah pintu gerbang di sekeliling balai
tersebut, jarak antar dinding bagian dalamnya ditaburi dengan pasir dan bagian
luarnya ditanami dengan sebaris pohon lontar kipas. Cittā membangun sebuah taman
peristirahatan di tempat tersebut, tidak ada tanaman bunga dan buah yang tidak
terdapat disana, Nandā juga, ia menggali sebuah tempat penampungan air di
tempat yang sama, menutupi permukaannya dengan lima jenis bunga teratai, hingga
menjadi begitu indah dipandang mata. Hanya Sujā yang tidak melakukan apa-apa.
Bodhisatta menetapkan tujuh ketentuan ini; membahagiakan ibu,
membahagiakan ayah, menghormati saudara (orang) yang lebih tua, berbicara
jujur, [202] menghindari kata-kata kasar, menjauhkan diri dari kata-kata
fitnah, dan menghindari sifat kikir : —
Barang siapa yang menyokong orang tuanya,
orang-orang yang pantas dihormati,
yang ramah, mengucapkan kata-kata yang bersahabat, tidak memfitnah,
Tidak kasar, jujur, pengendali – bukan budak – kemarahan,
—Ia yang akan terlahir di Alam Tiga Puluh Tiga Dewa68
pantas disebut sebagai Ia Yang Penuh Kebajikan.
orang-orang yang pantas dihormati,
yang ramah, mengucapkan kata-kata yang bersahabat, tidak memfitnah,
Tidak kasar, jujur, pengendali – bukan budak – kemarahan,
—Ia yang akan terlahir di Alam Tiga Puluh Tiga Dewa68
pantas disebut sebagai Ia Yang Penuh Kebajikan.
Demikianlah kata-kata pujian yang ditanamkan olehnya. Saat
ajalnya tiba, ia meninggal dan terlahir kembali di Alam Tiga Puluh Tiga Dewa
sebagai Sakka, raja para dewa; temantemannya juga terlahir di alam yang sama.
Pada masa itu, para asura juga berdiam di Alam Tiga Puluh Tiga
Dewa. Sakka, raja para dewa berkata, “Apa baiknya bagi kita dengan kerajaan
yang juga ditempati oleh makhlukmakhluk lain?” Ia membuat para asura minum
minuman keras para dewa, dan di saat mereka mabuk, ia membuat mereka terlempar
ke kaki Pegunungan Sineru yang curam. Mereka terjatuh ke ‘alam asura’,
sebagaimana alam itu dinamakan — wilayah paling bawah dari Pegunungan Sineru,
yang setingkat dengan Alam Tiga Puluh Tiga Dewa. Di sana, terdapat sebatang
pohon, mirip dengan Pohon Pāricchattaka, yang bisa hidup hingga beribu-ribu
tahun lamanya; pohon itu adalah Pohon Cittapāṭali. Mekarnya bunga ini membuat mereka sadar, bahwa tempat itu
bukanlah alam dewa, karena di sana yang mekar seharusnya adalah Pohon
Pāricchattaka. Mereka berteriak, “Si tua bangka Sakka telah
membuat kita mabuk dan melempar kita ke tempat yang sangat dalam, ia telah
merampas kota dewa kita.” “Mari,” teriak mereka, “kita menangkan kembali alam
milik kita darinya dengan menggunakan kekuatan senjata.” Mulailah mereka
memanjat naik ke sisi atas Pegunungan Sineru, seperti iring-iringan semut yang
menaiki pilar.
Mendengar raungan tanda bahaya yang menunjukkan bahwa para asura
telah bergerak naik, Sakka segera pergi ke tempat para asura untuk bertempur
dengan mereka, namun, ia kalah dalam serangan balik itu. Ia terbang di
sepanjang puncak demi puncak bagian selatan kedalaman tersebut dengan menggunakan
kereta tempurnya, Vejayantaratha (Kereta Tempur Kemenangan), yang panjangnya
seratus lima puluh yojana.
Tibalah kereta tempurnya yang bergerak secepat kilat itu di
Hutan Pohon Simbali. Di sepanjang lintasan kereta itu, pohonpohon yang kokoh
ini habis terpotong seakan-akan dicabut oleh sejumlah tangan, dan jatuh ke
dalam lubang yang dalam itu. Saat para garuda muda itu terjatuh ke dalam lubang
yang dalam, mereka menjerit dengan keras. Sakka bertanya kepada Mātali,
penunggang keretanya, “Mātali, suara apakah itu? [203] Suara tersebut sangat
menyayat hati!” “Paduka, itu adalah suara tangisan burung-burung garuda yang
ketakutan, saat pohon yang mereka huni tumbang karena terjangan keretamu.”
Makhluk yang sangat agung itu kemudian berkata, “Jangan biarkan mereka mendapat
masalah karena saya, Mātali. Jangan karena keselamatan kerajaan, terjadi
pembunuhan. Lebih baik saya, demi keselamatan mereka, mengorbankan diri kepada
para asura. Putar kembali keretanya.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, ia
mengulangi syair berikut ini :
Biarkan semua anak burung di hutan ini, Mātali,
selamat dari terjangan kereta tempur kita.
Saya menawarkan, kesediaan untuk menjadi korban,
nyawa saya untuk para asura yang berada di sana;
burung-burung yang malang ini
jangan sampai, karena saya, terlempar dari
sarang mereka yang terkoyak-koyak.
selamat dari terjangan kereta tempur kita.
Saya menawarkan, kesediaan untuk menjadi korban,
nyawa saya untuk para asura yang berada di sana;
burung-burung yang malang ini
jangan sampai, karena saya, terlempar dari
sarang mereka yang terkoyak-koyak.
Kata-kata itu membuat Mātali, penunggang kereta tempur itu,
memutar kembali kereta tempur tersebut, dan menempuh jalan lain kembali ke alam
dewa. Saat para asura melihat ia memutar kereta tempurnya, berseru bahwa Sakka
dari alam lain tentu telah datang; “Pasti ada bala bantuan yang membuatnya
memutar kembali kereta tempurnya.” Merasa keselamatan nyawa mereka terancam, mereka
segera melarikan diri dan terus berlari tanpa berhenti hingga mereka tiba
kembali di alam asura. Sakka tiba di alam dewanya, berdiri di tengah kota,
dikelilingi oleh rombongan dewa yang tinggal di alam tersebut, dan juga
dewa-dewa dari alam brahma lainnya. Saat yang sama, sungai di dunia ini
memancar tinggi hingga mencapai ‘Istana Kemenangan’ (Vejayanta) di ketinggian
beberapa yojana — disebut demikian karena hal tersebut terjadi di saat-saat
kemenangan. Untuk mencegah para asura kembali lagi, Sakka menempatkan penjaga
di lima tempat, — mengenai apa yang pernah diucapkannya sebelum ini : —
[204] Tak terkalahkan pertahanan yang ada di antara kedua kota!
Di antara, lima lapis penjagaan, dijaga oleh para
nāga, garuda, kumbhaṇḍa, yaksa dan Empat Raja Dewa.
Di antara, lima lapis penjagaan, dijaga oleh para
nāga, garuda, kumbhaṇḍa, yaksa dan Empat Raja Dewa.
Ketika Sakka menikmati saat-saat ia menjadi raja para dewa di
alam dewa yang agung, yang dijaga dengan ketat oleh para pengawalnya di lima
tempat, Sudhammā meninggal dunia dan terlahir sebagai pelayan wanita Sakka
sekali lagi. Persembahan menara yang diberikannya membuat sebuah balai besar –
bernama Sudhammā (Balai pertemuan para dewa)– tercipta untuknya, bertaburkan
permata-permata alam dewa, dengan tinggi lima ratus yojana, dimana di bawah
naungan sebuah atap putih kerajaan, duduklah Sakka, raja para dewa, yang
memerintah manusia dan dewa.
Cittā juga, setelah meninggal, terlahir sekali lagi sebagai
pelayan wanita Sakka; persembahan taman peristirahatan yang diberikannya
membuat munculnya sebuah taman peristirahatan yang diberi nama Cittalatāvana.
Sama halnya dengan Nandā, setelah meninggal dunia, ia terlahir sekali lagi
sebagai pelayan wanita Sakka; buah perbuatannya membuatkan sebuah tempat
penampungan air membuat timbulnya sebuah kolam di sana yang bernama Nandā.
Namun, Sujā, [205] yang tidak melakukan kebaikan apa pun juga, terlahir sebagai
seekor burung bangau di sebuah gua dalam hutan.
“Tidak ada tanda-tanda munculnya Sujā,” kata Sakka kepada
dirinya sendiri. “Saya merasa penasaran ia terlahir kembali di alam mana.” Saat
memikirkan hal tersebut, ia menemukan keberadaannya. Maka ia mengunjunginya,
membawanya mengunjungi alam dewa untuk menunjukkan kepadanya betapa
menyenangkannya kota para dewa itu, Sudhammā, Cittalatāvana, dan Kolam Nandā.
“Mereka bertiga,” kata Sakka, “terlahir kembali sebagai pelayan wanita saya
karena kebajikan yang mereka lakukan, sedangkan kamu, karena tidak melakukan
perbuatan baik apa pun, terlahir kembali di alam yang rendah. Mulai sekarang,
jagalah latihan.” Setelah menasehatinya dan mengukuhkan lima latihan moralitas
kepadanya, Sakka membawanya pulang kembali (ke tempat asalnya) dan
membiarkannya hidup bebas. Mulai saat itu, burung bangau itu menjaga kelima
latihan moralitas tersebut.
Beberapa waktu kemudian, karena ingin mengetahui apakah ia
(mampu) menjaga latihan atau tidak, Sakka pergi ke tempatnya dan muncul di
hadapannya dalam bentuk seekor ikan. Mengira ikan tersebut telah mati, burung
bangau itu meraih kepala ikan tersebut. Tiba-tiba ikan tersebut menggerakkan
ekornya. “Aduh, ikannya masih hidup,” kata burung bangau tersebut, ia
membiarkan ikan tersebut pergi. “Bagus, bagus,” kata Sakka, “kamu mampu menjaga
latihan-latihan tersebut.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Sakka pergi
meninggalkan tempat itu.
Setelah meninggal, burung bangau itu terlahir kembali dalam
sebuah keluarga pengrajin tembikar di Benares. Merasa penasaran di manakah Sujā
terlahir kembali, Sakka mencari dan akhirnya menemukan tempat ia berada. Sakka
menyamar menjadi seorang kakek, mengisi sebuah gerobak dengan mentimun yang
terbuat dari emas murni, duduk di tengah desa, berteriak, “Belilah mentimun
saya! Belilah mentimun saya!” Para penduduk mendatanginya dan menawar mentimun
tersebut. “Saya hanya melepaskannya untuk mereka yang menjaga latihan,”
katanya,”apakah kalian menjaga latihan?” “Kami tidak tahu apa yang kamu
maksudkan dengan ‘latihan’ itu; jual saja mentimun itu kepada kami.” “Tidak,
saya tidak menginginkan uang untuk mentimun saya. Saya akan memberikannya
secara cuma-cuma, namun hanya untuk mereka yang menjaga latihan.” “Siapakah
pelawak ini?” gerutu orang-orang itu sebelum meninggalkan tempat tersebut. Sujā
berpikir bahwa mentimun itu pasti dibawa untuknya, karena itu ia pergi ke sana
dan meminta beberapa buah mentimun. “Apakah engkau menjaga latihan, Nyonya?”
tanya kakek itu. “Ya, saya melakukannya,” jawab Sujā. “Semua ini saya bawa
untukmu seorang,” kata kakek itu, dan meninggalkan mentimun, gerobak dan
semuanya di depan pintu rumahnya sebelum pergi.
Setelah menghabiskan sisa hidupnya dengan tetap menjaga
latihan-latian tersebut, Sujā terlahir kembali sebagai putri dari Raja Asura
Vepacittiya. Karena kebaikan yang dilakukannya, ia terlahir dengan paras yang
jelita. Setelah dewasa, ayahnya mengumpulkan semua asura agar dapat dipilih
oleh putrinya untuk dijadikan suami. [206] Sakka, yang telah mencari dan
menemukan keberadaannya, mengambil bentuk asura dan turun ke sana, sambil
berkata, “Jika Sujā benar-benar memilih seorang suami dari lubuk hati
terdalamnya, saya akan terpilih.”
Sujā didandani dan dibawa menuju tempat pertemuan tersebut,
tempat dimana ia diminta untuk memilih seorang suami berdasarkan pilihan
hatinya. Melihat ke sekeliling dan mengamati Sakka, ia digerakkan oleh rasa
cintanya kepada Sakka di kehidupan yang lampau dan memilihnya untuk menjadi
suaminya. Sakka membawanya ke kota para dewa dan menjadikannya pimpinan dari
dua puluh lima juta orang gadis penari. Setelah ajalnya tiba, ia meninggal dan
terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menegur bhikkhu tersebut
dengan kata-kata berikut ini, “Demikianlah, Bhikkhu, ia yang bijaksana dan
penuh kebaikan di kehidupan yang lampau saat memerintah di alam dewa,
menghindari, walaupun harus mengorbankan nyawa mereka sendiri, untuk melakukan
pembunuhan. Dapatkah kamu, yang telah mengucapkan janji untuk memelihara
keyakinan ini, minum air yang belum disaring, beserta semua makhluk hidup yang
terkandung di dalamnya?” Kemudian Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang
kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah Mātali, penunggang kereta
tempur itu, dan Saya adalah Sakka.”
[Catatan : Bandingkan dengan penjelasan di Dhammapada
hal.184;dan Culla-vagga V.13 di Vol.II dari Vinaya karya Oldenberg
(diterjemahkan di hal.100 dari Vol.XX Sacred Books of the East) untuk kejadian
di cerita pembuka. Untuk kejadian Sakka dan para asura di kisah kelahiran
lampau, lihat Jātaka-mālā, No.11 (J.R.A.S.1893, hal.315).]
Catatan kaki :
66 Mengenai
aturan penyaringan air, lihat Vinaya Cullavagga V.13.
67 Para
garuda (garuḷa / supaṇṇa) adalah makhluk bersayap yang
memiliki kemampuan supranatural yang cukup baik; merupakan musuh bebuyutan dari
para nāga yang memegang kekuasaan di air. Bandingkan (misalnya) Jātaka No.154.
68 Salah
satu Devaloka, atau alam dewa, dari susunan alam yang ada dalam agama Buddha,
yakni Tāvatiṁsa-bhavanaṁ, atau ‘Alam Tiga Puluh Tiga Dewa’,
disebut demikian karena dihuni oleh tiga puluh tiga dewa yang dipimpin oleh
Sakka, yang disebut sebagai Indra sebelum munculnya agama
Buddha. Setiap sistem alam semesta, harus kita ketahui, memiliki sorang Sakka
tersendiri, seperti yang dinyatakan dibagian setelah ini.
No comments:
Post a Comment