KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA
Oleh
Bhikkhu Uttamo
Umat
Buddha kadang dianggap masyarakat luas sebagai orang yang tidak bertuhan. Agama
Buddha sering pula dikatakan sebagai agama yang tidak bertuhan. Bahkan, pada
suatu pertemuan dengan para pemuka agama, saya pernah menerima pernyataan dari
pemuka agama lain bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Menanggapi pernyataan yang
bersifat tuduhan ini, saya jawab dengan pertanyaan lain: ”Manakah agama di
Indonesia yang bertuhan?” Tentu saja para pemuka agama itu langsung tersentak
kaget dan merah padam mukanya. Mereka seolah tidak percaya dengan pertanyaan
saya tersebut. Namun, saya segera melanjutkan dengan keterangan bahwa istilah
‘tuhan’ sesungguhnya berasal dari Bahasa Kawi. Oleh karena itu, pengertian kata
‘tuhan’ terdapat dalam kamus Bahasa Kawi. Disebutkan dalam kamus tersebut bahwa
‘tuhan’ berarti penguasa atau tuan. Dan, karena di Indonesia tidak ada agama
yang mempergunakan Bahasa Kawi sebagai bahasa kitab sucinya, lalu agama manakah
di Indonesia yang bertuhan dan mencantumkan istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci
aslinya? Menyadari kebenaran tentang bahasa asal kitab suci masing-masing,
barulah mereka menerima bahwa memang tidak ada istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci
mereka. Jika demikian dalam Tipitaka, kitab suci Agama Buddha, tentu juga tidak
akan pernah ditemukan istilah ‘tuhan’ karena Tipitaka menggunakan Bahasa Pali
yaitu bahasa yang dipergunakan di India pada jaman dahulu. Namun, tidak adanya
istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci Tipitaka tentunya tidak boleh dengan mudah dan
sembarangan kemudian orang menyebutkan bahwa ‘Agama Buddha tidak bertuhan’.
Salah pengertian dan penafsiran sedemikian sembrono tentunya berpotensi menjadi
pemicu pertentangan antar umat beragama di Indonesia bahkan di berbagai belahan
dunia.
Sebagai
contoh sederhana tentang hal ini adalah penggunaan istilah ‘telunjuk’ untuk
salah satu jari tangan manusia. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata ‘telunjuk’
pasti dengan mudah dapat diketemukan karena memang kata tersebut berasal dari
Bahasa Indonesia. Namun, dalam kamus
Bahasa Inggris, tidak mungkin dapat dijumpai istilah ‘telunjuk’. Kenyataan yang bertolak belakang ini tentu saja tidak mengkondisikan orang secara sembarangan menyimpulkan bahwa semua orang yang berbahasa Inggris tidak mempunyai telunjuk. Sebuah kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal. Kesimpulan sembarangan semacam ini pasti akan menjadi bahan tertawaan orang banyak.
Bahasa Inggris, tidak mungkin dapat dijumpai istilah ‘telunjuk’. Kenyataan yang bertolak belakang ini tentu saja tidak mengkondisikan orang secara sembarangan menyimpulkan bahwa semua orang yang berbahasa Inggris tidak mempunyai telunjuk. Sebuah kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal. Kesimpulan sembarangan semacam ini pasti akan menjadi bahan tertawaan orang banyak.
Sayangnya,
pemahaman seperti ini tidak berlaku untuk konsep ketuhanan dalam Agama Buddha.
Ketika Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah ‘tuhan’ dalam berbagai
upacara ritual, maka secara sembarangan, masyarakat telah ‘menuduh’ bahwa Agama
Buddha tidak bertuhan. Padahal, dalam Agama Buddha yang menggunakan kitab suci
berbahasa Pali, konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana
atau lebih dikenal secara luas sebagai Nirvana (Bahasa Sanskerta). Jadi,
seseorang tidak akan pernah menemukan istilah ‘tuhan’ dalam Tipitaka, melainkan
istilah ‘nibbana’. Nibbana inilah yang sering dibabarkan oleh
Sang Buddha di berbagai kesempatan kepada bermacam-macam lapisan masyarakat. Nibbana
ini pula yang menjadi tujuan akhir seorang umat Buddha, sama dengan berbagai
konsep ketuhanan dalam agama lain yang juga menjadi tujuan akhir mereka
masing-masing. Seperti telah diketahui bersama bahwa Ajaran Sang Buddha
mengenal adanya tiga tujuan hidup umat Buddha yaitu pertama, mendapatkan
kebahagiaan di dunia. Kedua, kebahagiaan karena terlahir di alam surga atau
alam bahagia setelah meninggal dunia. Ketiga, kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana
atau Nirvana yang dapat dicapai ketika seseorang masih hidup di dunia
ataupun setelah ia meninggal nanti.
Kebahagiaan
yang pertama adalah kebahagiaan duniawi yang dapat diwujudkan di dunia ini
setelah seseorang mengenal dan melaksanakan Buddha Dhamma. Apabila setelah
mengenal Dhamma, seseorang semakin susah hidupnya, maka berarti Dhamma yang
lebih dikenal sebagai Agama Buddha itu belum memberikan manfaat baginya.
Kebahagiaan tahap pertama ini diukur dengan adanya rasa cukup, paling tidak,
untuk empat kebutuhan pokok paling mendasar yaitu pakaian, makanan, tempat
tinggal serta sarana kesehatan. Pengertian ‘cukup’ yang dimaksudkan di sini
tentu saja sangat relatif sifatnya. Cukup bagi seseorang mungkin saja
kekurangan bagi orang lain. Oleh karena itu, dalam Dhamma, istilah ‘cukup’ ini
diukur paling bawah atau secara minimal dari rasa cukup yang dimiliki oleh para
bhikkhu. Dengan demikian, seorang umat yang mempunyai lebih daripada yang dimiliki
bhikkhu, maka sesungguhnya ia sudah dapat disebut sebagai cukup. Kalaupun umat
tersebut masih merasa tidak cukup, mungkin saja hal ini berhubungan dengan
kebutuhan yang berbeda atau bahkan ketamakan yang dimiliki.
Para
bhikkhu dalam menjalani hidup sebagai pertapa masih membutuhkan empat kebutuhan
pokok yaitu jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Keperluan jubah
seorang bhikkhu hanya satu set saja. Dengan demikian, jika seorang bhikkhu
mampu hidup menggunakan satu set jubah selama bertahun-tahun, maka seorang umat
yang memiliki lebih dari satu set pakaian, misalnya tujuh set untuk tujuh hari
dalam seminggu, maka ia bisa dianggap telah cukup. Namun, apabila ia telah
memiliki banyak sekali pakaian dan masih juga merasa belum cukup, maka hal ini
lebih disebabkan oleh ketamakan yang dimilikinya.
Demikian
pula dengan kebutuhan makanan. Kehidupan seorang bhikkhu ditopang dengan
makanan yang diperoleh dari persembahan umat. Pada umumnya, seorang bhikkhu
hanya makan sekali atau dua kali sebelum tengah hari. Oleh karena itu, jika
seorang umat sudah mampu menyediakan diri dan keluarganya makanan lebih dari
dua kali sehari, sesungguhnya ia sudah dapat dikatakan cukup. Namun, apabila ia
masih merasa belum cukup ketika makanan yang ia miliki telah berlebihan, maka
perasaan ini timbul sebagai akibat dari ketamakan yang ia miliki selama ini.
Kebutuhan
tempat tinggal seorang bhikkhu dapat tercukupi dengan tinggal di dalam goa
ataupun gubuk sederhana. Oleh karena itu, apabila seorang umat telah mampu
memiliki satu unit rumah walaupun sederhana, sebenarnya ia telah dapat disebut
cukup. Berlebihan dalam penyediaan rumah bisa dikatakan sebagai tanda
ketamakan.
Akhirnya,
kecukupan sarana kesehatan menjadi sumber kebahagiaan duniawi yang keempat
setelah pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Untuk menjaga kesehatan maupun
mengobati penyakit, seorang bhikkhu sesuai dengan peraturan kebhikkhuan
diperkenankan mempergunakan urine sendiri. Tradisi ini sebenarnya dimasa
sekarang lebih dikenal dengan istilah ‘terapi urine’. Jadi, apabila seorang
umat telah mampu membeli obat, walaupun generik, ia sesungguhnya sudah dapat
disebut cukup. Namun, apabila ia berlebihan dalam pengadaan sarana kesehatan
sehingga cenderung boros, maka ia termasuk telah dipengaruhi oleh nafsu ketamakan.
Terkait
dengan tujuan hidup umat Buddha yang pertama yaitu hidup bahagia di dunia
dengan kecukupan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan, maka
banyak sekali catatan uraian Dhamma Sang Buddha tentang mencari nafkah,
mempertahankan dan meningkatkan kekayaan maupun upaya membina hidup rumah
tangga bahagia dan harmonis. Dengan melaksanakan uraian Dhamma yang telah
disampaikan oleh Sang Buddha dan dicatat dalam Kitab Suci Tipitaka, maka para
umat Buddha diharapkan mempunyai pedoman hidup yang jelas serta pasti untuk
bekerja dan berumah tangga. Dengan demikian, ia akan mendapatkan kecukupan
materi, bahkan berlimpah dengan materi namun rumah tangga serta kondisi batin
tetap bahagia.
Selanjutnya,
tujuan hidup umat Buddha yang kedua setelah merasa cukup bahagia hidup di dunia
adalah mengarahkan kehidupannya agar setelah meninggal dunia ia terlahir di
alam surga. Tujuan terlahir di alam surga ini menjadi tujuan kedua agar
memberikan kesempatan para umat Buddha membuktikan terlebih dahulu manfaat
Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan ini. Apabila memang benar ia telah memetik
manfaat Buddha Dhamma dengan mendapatkan kebahagiaan duniawi, tentu akan tumbuh
keyakinan yang kuat dalam dirinya kepada Ajaran Sang Buddha. Ia akan lebih
bersemangat melaksanakan Dhamma agar ia terlahir di alam bahagia sebagai tujuan
hidup yang berikutnya. Pembuktian mencapai kebahagiaan di dunia ini menjadi
sangat penting karena pembuktian kelahiran di surga jauh lebih sulit dilakukan
semasa seseorang masih hidup di dunia. Kelahiran di alam surga sering menjadi
pengetahuan umum maupun kepercayaan membuta yang diperoleh dari berbagai kitab
suci yang ada dalam masyarakat. Disini Buddha Dhamma berusaha memberikan bukti,
bukan hanya sekedar janji.
Tidak
adanya manfaat memiliki kepercayaan membuta tanpa bukti atas kelahiran di surga
ini dapat diperjelas dengan perumpamaan cinta seorang pria terhadap gadis
pujaannya. Tersebutlah sebuah kisah tentang seorang gadis yang cantik jelita.
Kecantikannya telah terkenal di mana-mana. Setiap hari, banyak pemuda datang
mengharapkannya sebagai istri. Mereka datang dengan membawa berbagai buah
tangan sebagai penarik hati si gadis itu. Akhirnya, dari sekian banyak pria
yang melamar, gadis tersebut memilih salah satu diantaranya. Ketika si pria
yang diterima lamarannya ini bertanya, kapan mereka akan menikah. Si gadis
menjawab, “Nanti setelah kita mati”. Sebuah jawaban yang aneh dan tidak ada
gunanya. Ketika mereka mati, kapan mereka memiliki kesempatan untuk hidup dan
berbahagia bersama? Tidak masuk akal memang. Sayangnya, jawaban semacam ini
dianggap tidak aneh dan tetap layak dipercaya ketika seseorang mendapatkan
janji tanpa bukti bahwa seseorang akan terlahir di surga setelah ia meninggal
dunia. Justru karena untuk membuktikan terlebih dahulu, Buddha Dhamma
memberikan kesempatan kepada mereka yang mau mempelajari dan melaksanakan
Dhamma mendapatkan kebahagiaan duniawi sebelum mereka membicarakan kebahagiaan
surgawi.
Adapun
kebahagiaan surgawi yang dicapai setelah mendapatkan kebahagiaan duniawi dapat
diperoleh para umat Buddha dengan mengkondisikan timbulnya kebahagiaan duniawi
kepada mereka yang membutuhkan. Umat Buddha hendaknya sering melakukan
kebajikan dengan membagikan kelebihan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun
sarana kesehatan yang telah ia miliki dan ia telah merasa cukup dengan hal itu.
Disinilah peran rasa cukup yang mampu mengatasi ketamakan menjadi sangat
penting. Dari tindakan ini pula dapat dibedakan pengaruh cukup atau tamak
terhadap diri seseorang. Mereka yang dipengaruhi oleh ketamakan tidak akan
pernah merasa cukup dan tidak ingin berbagi kepada mereka yang membutuhkannya.
Sedangkan mereka yang merasa cukup tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap
kesempatan untuk berbagi dan terus berbagi kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan sering berbagi, maka umat pun terlatih untuk memperbanyak kebajikan
melalui badan, ucapan serta pikiran. Banyaknya kebajikan yang telah dilakukan
inilah yang akan menjadi jalan lebar serta lurus untuk seseorang terlahir di
alam surga setelah kematiannya.
Akhirnya,
karena seseorang telah mampu membuktikan pencapaian kebahagiaan duniawi dengan
melaksanakan Dhamma, ia pun telah merasakan kebahagiaan karena mampu berbagi,
maka tahap ketiga sebagai tujuan hidupnya adalah berusaha mencapai Nibbana
atau Nirvana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam kehidupan ini juga maupun
kehidupan yang selanjutnya.
Untuk
memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu
bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama,
Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai
istilah “Tuhan melihat umatNya”, atau “Tuhan mendengar doa umatNya” serta masih
banyak lainnya. Pendekatan kedua, Tuhan dikenal melalui sifat manusia.
Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan cemburu”, “Tuhan mengasihi”, “Tuhan adil”,
serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah
disampaikan, Ketuhanan dalam Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas.
Agama Buddha menggunakan aspek ‘nafi’ atau penolakan atas segala sesuatu yang
dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian Nibbana atau Tuhan dalam
Agama Buddha adalah “Yang tidak terlahirkan”, “Yang tidak menjelma”, “Yang
tidak bersyarat”, “Yang tidak kondisi”. “Yang tidak terpikirkan”, serta masih
banyak kata ‘tidak’ lainnya. Secara singkat, Tuhan atau Nibbana adalah
mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan
dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan
hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan
pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama
sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita,
si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas
mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu,
cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh
durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya,
mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh
pengertian.
Demikian
pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Apabila rasa, bentuk maupun
warna durian yang mudah dijumpai saja tidak mampu diceritakan, maka tentunya
kini sudah dapat dimengerti penyebab Dhamma mempergunakan istilah ‘tidak
terpikirkan’ untuk menceritakan Nibbana. Hanya saja, menyebutkan ‘tidak
terpikirkan’ bukan berarti tidak ada. Sama dengan kesulitan menceritakan rasa
durian di atas; tidak bisa diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk
menjelaskan durian, perlu dibuktikan sendiri. Untuk memahami Nibbana, perlu
dijalani sendiri. Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia
Berunsur Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan
satu jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu
Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan
Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Jalan Mulia
inilah yang diajarkan Sang Buddha ketika Beliau pertama kali mengajarkan Dhamma
di dunia. Karena seorang umat Buddha harus melaksanakan dan menjalani sendiri
Jalan Mulia Berunsur Delapan agar dapat memahami Ketuhanan Yang Mahaesa atau
Nibbana, maka dalam Ajaran Sang Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan”
atau ehipassiko (Bhs. Pali).
Jalan
Mulia Berunsur Delapan yang telah disebutkan di atas adalah merupakan salah
satu unsur dari Ajaran Pokok Sang Buddha yang dikenal dengan Empat Kesunyataan
Mulia. Seperti nama yang dipergunakan, Empat Kesunyataan Mulia terdiri dari
empat kondisi yang pasti dialami oleh semua mahluk hidup. Kesunyataan pertama
menyebutkan kenyataan bahwa hidup berisikan ketidakpuasaan. Ketidakpuasan ini
disebabkan karena keinginan untuk selalu bertemu dan berkumpul dengan mereka
yang dicintai dan keinginan untuk tidak berjumpa dengan mereka yang tidak
disukai. Kesunyataan kedua menganalisa bahwa ketidakpuasan tersebut disebabkan
oleh keinginan. Semakin kuat keinginan, semakin kuat pula ketidakpuasan yang
dialami. Sebaliknya, semakin lemah keinginan, semakin lemah pula ketidakpuasan
yang timbul dalam batin seseorang. Kesunyataan ketiga memberikan penalaran
bahwa terkendalinya keinginan akan menyebabkan hilangnya ketidakpuasan sehingga
seseorang mencapai Nibbana. Dan, kesunyataan keempat memberikan cara
atau satu jalan yang memiliki delapan unsur untuk mengendalikan keinginan serta
melenyapkan ketidakpuasan. Agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas, maka
masing-masing kesunyataan mulia ini akan sepintas dibahas secara umum.
Kesunyataan
Mulia yang pertama menyebutkan bahwa hidup berisikan ketidakpuasan.
Ketidakpuasan ini muncul karena dalam kehidupan selalu terkondisi untuk
berpisah dengan segala hal yang dicinta dan bertemu dengan segala hal yang
tidak disuka. Maksud dari segala hal yang dicinta dan tidak disuka ini dalam
arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, pengertian tersebut dapat meliputi
orang, benda, suasana dsb. Misalnya, seseorang pada mulanya bisa saja duduk
bersila di lantai dengan nyaman, namun pada saat berikutnya ia mungkin merasakan
kesemutan yang menyakitkan. Perasaan ini timbul karena ia telah berpisah dengan
kondisi yang dicinta yaitu nyaman duduk bersila di lantai dan bertemu dengan
kondisi yang tidak dicinta yaitu rasa sakit akibat kesemutan. Demikian pula
dengan rasa tidak nyaman akibat lapar. Kondisi ini timbul akibat berpisah
dengan yang dicinta yaitu rasa tidak lapar dan bertemu dengan kondisi yang
tidak disuka yaitu rasa lapar. Jadi, kondisi bertemu dengan yang tidak disuka
dan berpisah dengan yang disuka ini selalu muncul berbarengan bagaikan dua sisi
tangan yang terlihat berbeda apabila dipandang dari dua arah. Namun, kedua
perbedaan sudut pandang ini tetap saja melihat satu bagian yang sama yaitu
telapak tangan.
Sang
Buddha mengerti dengan jelas bahwa sumber ketidakpuasan yang dialami ini adalah
dari keinginan yang tidak tercapai untuk selalu bertemu dengan yang dicinta dan
tidak bertemu dengan yang tidak disuka. Oleh karena itu, Kesunyataan Mulia yang
kedua menyebutkan bahwa keinginan adalah sumber ketidakpuasan. Semakin kuat
keinginan seeorang untuk mempertahankan kondisi yang dicintai, maka semakin
besar pula rasa ketidakpuasan yang ia alami. Demikian pula, semakin kuat
penolakan terhadap pertemuan dengan kondisi yang tidak menyenangkan akan
memperberat rasa ketidakpuasan yang timbul dalam batinnya. Dalam contoh di
atas, semakin seseorang gelisah atas rasa kesemutan yang ia alami, maka semakin
memuncak rasa ketidakpuasannya terhadap kondisi tubuhnya yang terbatas
tersebut. Semakin seseorang menolak rasa lapar yang memang sudah timbul,
semakin parah pula rasa lapar menyerangnya.
Oleh
karena itu, pembabaran Sang Buddha selanjutnya adalah Kesunyataan Mulia yang
ketiga bahwa ketidakpuasan dapat diatasi apabila keinginan dapat dikendalikan.
Pengendalian keinginan ini dicapai dengan pemahaman bahwa hidup adalah proses
yang berkesinambungan. Tidak ada kekekalan di alam semesta ini. Hanya
ketidakkekalan itulah yang kekal. Dengan demikian, ada pertemuan pasti ada
perpisahan. Ketika seseorang bertemu dengan kondisi nyaman duduk bersila di
lantai, maka seiring dengan berjalannya waktu, ia pun pasti akan bertemu dengan
kondisi tidak nyaman duduk di lantai yaitu kesemutan. Demikian pula ketika ia
merasa nyaman ‘bertemu’ dengan rasa tidak lapar, maka suatu saat sesuai dengan
berjalannya waktu, ia pasti akan ‘bertemu’ dengan rasa lapar. Segala bentuk
keinginan yang menimbulkan ketidakpuasan tersebut akan dapat diatasi apabila
seseorang mampu memahami ketidakkekalan ini.
Akhirnya,
sebagai Kesunyataan Mulia yang Keempat, diuraikan Sang Buddha tentang Jalan
Mulia Berunsur Delapan yang menjadi kunci pelaksanaan seseorang untuk dapat
mengendalikan keinginannya. Pelaksanaan Jalan Mulia inilah yang seharusnya
dikerjakan dengan tekun dan penuh semangat oleh para umat serta simpatisan
Buddhis agar hidupnya mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang bisa diperoleh,
seperti yang telah diuraikan sebelumnya, adalah kebahagiaan duniawi, kemudian,
kebahagiaan setelah meninggal dunia dengan terlahir di salah satu alam surga
atau bahkan tentu saja kebahagiaan tertinggi yaitu terbebas dari kelahiran
kembali yakni ketika seseorang mencapai Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa
dalam Agama Buddha.
Dasar
pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan diawali dengan latihan kemoralan.
Paling tidak, sebagai awal, terdapat lima latihan kemoralan yang dapat
dilakukan yaitu upaya menghindari tindakan pembunuhan, pencurian, perjinahan,
bohong dan mabuk-mabukan. Latihan mengendalikan diri terhadap lima perilaku
tidak benar ini mengkondisikan seseorang untuk selalu menyadari segala tingkah
laku badan dan ucapan yang sedang dikerjakan. Semakin sering seseorang mampu
mengembangkan kesadaran atas tindakan serta ucapannya, maka ia pun semakin
terkondisi untuk memperhatikan serta menyadari segala bentuk gerak gerik
pikiran yang menjadi sumber tindakan badan maupun ucapan yang dilakukannya.
Perhatian pada gerak gerik pikiran inilah yang akan mengkondisikan seseorang
menyadari bahwa kenyataan hidup adalah saat ini. Secara bertahap dengan
mempunyai kesadaran ini, seseorang akan semakin berkurang kemelekatannya pada
masa lampau maupun masa depan. Masa lampau hanyalah tinggal kenangan sebagai
bagian dari upaya pembelajaran untuk diperbaiki maupun ditingkatkan di masa
sekarang. Sedangkan masa depan masih berupa rencana maupun impian yang harus segera
dilaksanakan sedikit demi sedikit di masa sekarang. Dengan demikian, masa
sekarang menjadi masa yang sangat penting sekali untuk selalu meningkatkan
kualitas diri secara lahir maupun batin. Pemahaman yang kuat bahwa kenyataan
hidup adalah saat ini menjadikan seseorang secara perlahan-lahan akan berkurang
kemelekatannya. Batinnya menjadi tenang seimbang menghadapi segala perubahan
yang dijumpainya. Bahkan, pada akhirnya ia mampu membebaskan diri dari
kemelekatan sehingga batinnya pun terbebas dari ketamakan, kebencian serta
kegelapan. Kegelapan batin yang dimaksudkan di sini adalah ketidaktahuan
seseorang bahwa kenyataan hidup adalah tidak kekal dan hanya merupakan proses
berkesinambungan. Dengan demikian, ia tidak lagi melekat dengan proses yang
terus menerus berubah ini. Pengertian inilah yang membawa seseorang terbebas
dari kelahiran kembali atau mencapai Nibbana yang tidak bisa diceritakan karena
kemutlakannya. Sama sekali tidak bersyarat. Hanya saja, walaupun tidak bisa
diceritakan, ternyata Nibbana mampu dicapai oleh mereka yang dengan
sungguh-sungguh melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Demikianlah
Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha yang tidak bisa diceritakan
namun bisa dicapai dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tentu saja
akan timbul pertanyaan dalam diri para umat serta simpatisan Buddhis bahwa
apabila Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha tidak memiliki konsep
seperti pemahaman umum yang dikenal dalam masyarakat, lalu bagaimanakah umat
Buddha seharusnya berdoa?
Banyak
orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat Buddha melakukan sembahyang
di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah
‘sembahyang’ yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu ‘sembah’ berarti
menghormat dan ‘hyang’ yaitu dewa. Dengan demikian, ‘sembahyang’ berarti
menghormat, menyembah para dewa. Apabila ‘sembahyang’ diartikan seperti itu,
maka umat Buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat Buddha bukanlah
umat yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat Buddha mengakui
keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka.
Umat Buddha juga tidak ‘berdoa’ karena istilah ini mempunyai pengertian ada
permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat Buddha tentu
saja tidak pernah meminta kepada arca Sang Buddha maupun kepada fihak lain.
Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat Buddha bukanlah penyembah berhala
karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca Sang Buddha,
arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut
‘sembahyang’ maupun ‘doa’, umat Buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan
‘puja bakti’. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata ‘puja’ yang bermakna
menghormat dan ‘bakti’ yang lebih diartikan sebagai melaksanakan Ajaran Sang
Buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
melakukan puja bakti, umat Buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung
sejak jaman Sang Buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang
penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang
bertujuan untuk menghormat kepada lambang Sang Buddha, jadi bukan menyembah
patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena Sang Buddha
berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara
timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang
dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai
sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya
untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena
bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi,
maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya
tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk
arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk
bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai
kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap
rendah hati.
Setelah
memasuki ruangan dan bersujud, umat Buddha dapat duduk bersila di tempat yang
telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat
yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah Sang
Buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah Sang Buddha, umat mempunyai
kesempatan untuk merenungkan isi uraian Dhamma Sang Buddha serta berusaha
melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama
seseorang mengenal Dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin
banyak kotbah Sang Buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik
pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
Salah
satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca Karaniyametta
Sutta di vihara. Sutta atau kotbah Sang Buddha ini berisikan cara
memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu,
ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak
tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu
berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya
menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah
satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci
mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat
mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja
dalam kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia
walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan
menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia
hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk
lingkungannya.
Itulah
makna sesungguhnya dari pengertian ‘puja bakti’ yaitu menghormat dan
melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Sekali lagi, umat Buddha tidak berdoa, juga
tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat
Buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin
kaya dsb. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat Buddha agar
keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk
mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat Buddha disarankan untuk
melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran.
Setelah berbuat kebaikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan
tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan. Upaya mengarahkan
buah kebajikan ini secara tradisi biasanya dilakukan dalam tiga tahap. Seperti
halnya menulis surat tentu membutuhkan kalimat pembuka sebelum mengutarakan
maksud atau isi yang sesungguhnya sebelum ditutup dengan kalimat penutup.
Demikian pula kalau mendatangi rumah seseorang, maka biasanya diawali dengan
pembicaraan yang santai, ramah dan penuh persaudaraan sebelum membahas masalah
yang sesungguhnya. Setelah itu, barulah acara ramah tamah ditutup kembali
dengan hal yang ringan sebelum berpamitan pulang. Demikian pula ketika umat
Buddha menyampaikan keinginan ataupun harapannya dalam upacara ritual Buddhis.
Pada mulanya dibuka dengan mengingat Ajaran Sang Buddha. Disebutkan ‘mengingat’
karena untuk membedakan dengan istilah ‘memuji’. Dalam ritual Buddhis, tidak
dilakukan pujian kepada Sang Buddha karena tindakan tersebut tidak bermanfaat.
Sang Buddha sudah tidak terlahirkan kembali. Dengan demikian, pujian tidak lagi
memberikan pengaruh kepada Beliau. Oleh karena itu, ingatan pada kotbah atau
Ajaran Sang Buddha dirumuskan sebagai, “Sesuai dengan benih yang ditabur,
demikian pula buah yang akan dituai. Menanam kebajikan akan tumbuh
kebahagiaan.” Perenungan atau ingatan ini berhubungan dengan Hukum Sebab dan
Akibat atau lebih dikenal dengan Hukum Kamma. Setelah dibuka dengan perenungan,
selanjutnya diungkapkan harapan atau keinginan yang dimiliki dengan
menyebutkan, “Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai saat
ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk…… “ yang dapat diisi, misalnya :
banyak rejeki, panjang umur, sehat kuat dan bersemangat, serta masih banyak
lagi isian sesuai dengan keinginan yang dimiliki.
Dengan
diawali perenungan pada hukum sebab dan akibat, maka seseorang akan lebih
menyadari bahwa apabila ia menginginkan kebahagiaan, ia hendaknya melakukan
kebajikan terlebih dahulu kepada fihak lain. Seperti halnya tanam padi akan
panen padi, demikian pula apabila seseorang menanam kebajikan, ia pun akan
memetik kebahagiaan. Jika ia menanam pelepasan mahluk dari penderitaan, maka ia
pun akan terlepas dari berbagai kesulitan yang sedang dihadapi. Demikian
seterusnya. Apabila telah cukup banyak kebajikan yang dilakukan, maka tentu
kebahagiaan seperti yang diharap pun akan dapat terwujud. Kalaupun masih ada
keinginan yang belum terwujud, ia akan selalu bersemangat untuk melakukan
kebajikan karena ia telah menyadari bahwa semua kebajikan yang ia lakukan tidak
akan pernah hilang begitu saja.
Apabila
ungkapan permintaan itu telah dibuka dan didahului dengan perenungan pada Hukum
Kamma atau Hukum Sebab dan Akibat, maka sebagai penutup umat Buddha dapat
mengucapkan berkali-kali kalimat, “Semoga semua mahluk berbahagia’ yang
artinya, ia sendiri adalah mahluk, semoga ia bahagia dengan tercapai segala
harapannya. Keluarganya juga mahluk, semoga keluarganya bahagia sesuai dengan
kondisi kamma mereka masing-masing. Bahkan, musuh-musuhnya pun adalah mahluk,
semoga mereka semua berbahagia sesuai dengan keinginan yang mereka miliki.
Dengan mengucapkan kalimat penutup seperti ini, maka umat Buddha diarahkan
untuk mengingat kebahagiaan fihak lain selain diri sendiri. Kebahagiaan kepada
fihak lain ini diwujudkan dengan memancarkan pikiran cinta kasih kepada semua
mahluk, bahkan kepada para musuhnya. Sesungguhnya, dengan seseorang mampu
mengharapkan semua mahluk berbahagia, maka dirinya sendiri pun akan mendapatkan
kebahagiaan sesuai dengan harapan yang telah dimiliki selama ini.
Jadi,
secara lengkap, rumusan ungkapan permintaan ataupun ‘doa’ dalam tradisi Buddhis
ini terdiri tiga tahap seperti yang telah diuraikan di atas yaitu: “ Sesuai
dengan benih yang ditabur demikian pula buah yang dituainya, menanam kebajikan
maka akan memperoleh kebahagiaan. Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya
lakukan sampai saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk ….. (diisi:
panjang umur, sehat, sukses dsb.). Semoga semua mahluk berbahagia.” Dengan
rumusan ‘doa’ seperti ini, umat Buddha akan selalu bersemangat untuk
mengembangkan kebajikan melalui badan, ucapan dan juga pikiran karena ia sadar
bahwa kebahagiaan akan dapat dirasakan melalui upaya kebajikan yang ia
kerjakan. Ia tidak akan pernah menyalahkan fihak lain atas penderitaan yang ia
alami. Sebaliknya, ia pun tidak akan menganggap ada fihak lain yang membuatnya
bahagia. Suka duka adalah bagian dari buah perbuatan yang ia lakukan selama
ini. Ia akan selalu bersemangat untuk melaksanakan lima latihan kemoralan yaitu
berusaha tidak melakukan pembunuhan, pencurian, perjinahan, bohong maupun
mabuk-mabukan. Ia juga akan tekun melaksanakan latihan pengembangan kesadaran
atau meditasi. Dengan demikian, ia akan selalu sadar pada saat ia sedang
bertindak, berbicara maupun berpikir. Kesadaran yang penuh akan hidup saat ini
akan mengkondisikan seseorang mencapai kebebasan dari ketamakan, kebencian
serta kegelapan batin. Pada tingkat inilah seseorang disebut mencapai Nibbana
atau Tuhan dalam Agama Buddha. Jadi, pencapaian Tuhan atau Nibbana ini tidak
harus dialami ketika seseorang telah meninggal, namun juga bisa dalam kehidupan
ini juga. Sekarang juga.
Sebagai
kesimpulan, sudah jelas sekarang bahwa tujuan hidup seorang umat Buddha adalah
untuk mencapai kebahagiaan. Dalam Dhamma disebutkan adanya tiga tujuan hidup
yaitu berbahagia di dunia ini, berbahagia setelah kehidupan ini yaitu mencapai
alam surga atau alam bahagia lainnya. Kemudian, sebagai tujuan hidup yang
tertinggi adalah kebahagiaan Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa. Tentu
saja, Nibbana bukan surga atau alam, namun terbebas dari kelahiran
kembali yang dapat dicapai dalam kehidupan ini juga. Agar seseorang dapat
mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu Nibbana, maka ia hendaknya selalu
berusaha melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan secara terus menerus. Adapun
Jalan Mulia Berunsur Delapan itu adalah Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan
Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian
Benar dan Konsentrasi Benar. Dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan
ini seseorang paling tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup ini. Dan,
apabila timbul keinginan atau harapan, maka ia dapat mengucapkan tekad yang
terdiri dari tiga bagian yaitu pembuka, isi serta penutup seperti yang telah
diuraikan di atas.
Cara
mengungkapkan harapan atau keinginan dalam tiga bagian tersebut dapat
dipergunakan dimanapun seseorang berada tanpa menimbulkan pertentangan maupun
permusuhan dengan fihak lain. Cara tersebut dapat dipergunakan di berbagai
tempat ibadah Buddhis maupun bukan.
Inilah
yang perlu disampaikan pada kesempatan ini. Semoga uraian Dhamma ini akan
memberikan manfaat serta kebahagiaan untuk para umat dan simpatisan Buddhis.
Semoga
Anda semua berbahagia.
Semoga
semua mahluk selalu berbahagia.
Semoga
demikianlah adanya.
TANYA
JAWAB:
Tanya
01 :
Apakah
dalam Agama Buddha ada surga dan neraka, seperti dalam agama lain?
Jawab
:
Seperti
yang telah dijelaskan di atas bahwa terdapat tiga tujuan hidup seorang umat
Buddha yaitu bahagia di dunia, kemudian, bahagia setelah kehidupan ini yaitu
terlahir di alam surga dan juga bahagia karena terbebas dari kelahiran kembali
ketika seseorang telah mencapai Nibbana. Dengan demikian, dalam Agama Buddha
pasti ada surga maupun neraka. Bahkan, surga dalam Agama Buddha lebih dari satu
tingkat. Banyaknya jenis alam surga ini karena tingkat kebajikan yang dilakukan
seseorang tidaklah sama dengan kebajikan yang dilakukan oleh orang lain. Jadi,
mereka yang lebih banyak melakukan kebajikan akan terlahir di surga yang lebih
tinggi dan lebih lama daripada mereka yang kurang kebajikannya. Hal ini hampir
sama dengan orang yang mempunyai uang lebih banyak tentunya akan mempunyai
kesempatan membeli kendaraan lebih banyak pula daripada mereka yang mempunyai
uang lebih sedikit. Kendaraan yang mampu dibeli juga berbeda fasilitasnya.
Semakin kaya seseorang, tentu semakin bagus pula fasilitas kendaraan yang dapat
ia peroleh. Jadi, para prinsipnya, perbanyak kebajikan dengan badan, ucapan
serta pikiran maka seseorang akan terlahir di surga yang lebih baik daripada
mereka yang kurang kebajikannya.
Sebaliknya,
selain alam surga sebagai buah kebajikan yang dilakukan seseorang semasa
hidupnya, maka tentu terdapat pula alam menderita atau alam neraka yang
merupakan buah perilaku buruk yang pernah dijalani selama hidup yang
sebelumnya. Alam neraka juga mempunyai banyak tingkat. Dengan demikian, semakin
jahat perilaku seseorang, semakin buruk pula kondisi neraka yang ia jumpai. Hal
ini sama dengan penjahat yang melakukan banyak kejahatan akan mendapatkan
hukuman yang lebih berat daripada penjahat yang bentuk kejahatannya tidak
terlalu berat.
Tanya
02 :
Setelah
manusia meninggal masih adakah surga atau neraka yang kekal? Bagaimana kita
bisa tahu jalan menuju ke surga / Nibbana? Apa yang dijadikan patokan bahwa
jalan kita yang dilewati itu benar?
Jawab
:
Dalam
pengertian Buddhis, seseorang yang meninggal akan segera terlahir kembali di
alam surga atau neraka sesuai dengan buah kamma yang ia miliki. Mereka yang
mempunyai banyak kamma baik akan terlahir di surga atau alam bahagia. Mereka
yang banyak mempunyai kamma buruk akan terlahir di alam menderita, termasuk
alam neraka. Namun, alam surga maupun neraka dalam Dhamma disebutkan tidak
kekal. Oleh karena itu, ketika buah kamma yang mendukung kelahiran di suatu
alam telah habis, maka mahluk itu akan meninggal dari alam tersebut untuk
terlahir kembali di alam yang sesuai.
Dan,
untuk mengetahui jalan ke surga maupun Nibbana, dalam uraian di atas sudah
dijelaskan bahwa Ajaran Sang Buddha memberikan bukti dengan menguraikan
cara-cara untuk mencapai kebahagiaan di dunia. Pada pokoknya disebutkan bahwa
segala suka dan duka hanyalah akibat permainan pikiran sendiri. Pikiran akan
bahagia ketika keinginan tercapai, sebaliknya pikiran menderita ketika
keinginan tidak tercapai. Dengan memahami kenyataan ini, seseorang hendaknya
melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan agar ia mampu mengendalikan
keinginan. Kemampuan untuk mengendalikan keinginan inilah yang akan menimbulkan
kebahagiaan dalam batin seseorang. Kebahagiaan dalam batin ini juga akan
mengkondisikan kebahagiaan di lingkungannya. Kebahagiaan di lingkungan akan
mampu mewujudkan kebahagiaan di dunia. Setelah seseorang mampu membuktikan
kebenaran Ajaran Sang Buddha untuk mencapai kebahagiaan di dunia, maka ia
tentunya akan lebih yakin bahwa Dhamma Ajaran Sang Buddha mampu juga memberikan
jalan hidup bahagia dengan terlahir di alam surga. Ia juga akan yakin bahwa
pelaksanaan Buddha Dhamma akan mengkondisikan seseorang mencapai kesucian atau
Nibbana dalam kehidupan ini juga. Jadi, kunci keyakinan pada Buddha Dhamma
adalah kesempatan untuk membuktikan terlebih dahulu kebenaran Dhamma dalam
kehidupan ini juga.
Tanya
03 :
Apakah
Agama Buddha percaya adanya malaikat dan hantu?
Jawab
:
Malaikat
atau lebih dikenal dalam istilah Buddhis sebagai dewa dan dewi adalah para
penghuni surga. Sedangkan hantu adalah mahluk halus dalam Agama Buddha
disebutkan ada beberapa jenis. Ada mahluk yang disebut sebagai setan kelaparan,
ada juga yang disebut setan raksasa maupun berbagai jenis lainnya. Oleh karena
itu, sudah jelas bahwa Agama Buddha mengakui keberadaan para dewa dan dewi
serta para mahluk halus. Meskipun demikian, umat Buddha sama sekali tidak
dianjurkan untuk meminta maupun memuja mereka. Umat Buddha hanya mengetahui
saja bahwa mereka adalah bagian dari para mahluk yang terlahir di berbagai alam
kelahiran.
Tanya
04 :
Apakah
Agama Buddha terdapat manusia pertama?
Jawab
:
Sebenarnya
tujuan Dhamma Ajaran Sang Buddha lebih cenderung dipergunakan untuk
mengendalikan pikiran, ucapan dan perbuatan. Dan, kemampuan seseorang untuk
mengendalikan diri ini sama sekali tidak ada hubungan langsung dengan
pengetahuan tentang manusia pertama. Tanpa mengetahui manusia pertama
sekalipun, seseorang bisa saja mencapai kesucian. Namun, dalam salah satu
kesempatan, kepada mereka yang telah mempunyai kemampuan batin dari latihan
meditasi yang tekun sehingga mampu mengingat berkali-kali muncul dan kiamatnya
bumi, barulah Sang Buddha menceritakan terjadinya manusia pertama. Cerita Sang
Buddha hanya kepada mereka yang mampu mengingat terbentuk dan kiamatnya bumi
ini agar ada orang yang bisa menyaksikan serta mengingat sendiri peristiwa yang
disampaikan Sang Buddha. Tentu saja, sikap Sang Buddha ini berhubungan dengan
pengertian dasar dalam Dhamma yaitu ‘datang dan buktikan’, bukan ‘datang dan
percaya saja’.
Dalam
kisah yang disampaikan oleh Sang Buddha, manusia pertama bukan hanya satu atau
dua orang saja, melainkan banyak. Mereka bukan hasil ciptaan. Mereka merupakan
hasil sebuah proses panjang bersamaan dengan proses terjadinya bumi beserta
planet-planetnya. Seperti diketahui bahwa dalam pengertian Dhamma, tata surya
seperti yang dihuni manusia saat ini bukan hanya satu melainkan lebih dari satu
milyar jumlahnya. Masing-masing tata surya ketika kiamat akan terbentuk lagi.
Pada saat terjadinya bumi ini, datanglah mahluk-mahluk berupa cahaya dari tata
surya yang lain. Mereka berproses bersamaan dengan proses pembentukan tata
surya ini. Dalam proses tersebut mereka tertarik mencicipi dan mengkonsumsi
sari bumi, sari tumbuhan dsb. Ketertarikan mereka menyebabkan tubuh cahaya
menjadi redup dan mulai terjadilah proses pembentukan tubuh, jenis kelamin,
persilangan serta keturunan. Dan, sekali lagi, manusia pertama karena merupakan
hasil proses seperti ini, jumlahnya tidak bisa ditentukan lagi. Sangat banyak.
Mereka berproses dan berevolusi secara lambat sampai membentuk manusia
sekarang. Hanya saja, dalam Dhamma juga tidak membenarkan maupun menolak
pandangan ilmu pengetahuan modern bahwa manusia berasal dari monyet. Sikap ini
sehubungan dengan kepastian bahwa asal manusia dari monyet ataupun bukan sama
sekali tidak ada kaitan dengan keberhasilan seseorang untuk mencapai kesucian
ataupun Nibbana.
Tanya
05 :
Alam
manusia di dalam Agama Buddha dikatakan sebagai alam yang paling baik untuk
mencapai kesempurnaan. Kenapa demikian?
Jawab
:
Dalam
pandangan Dhamma, hidup sebagai manusia mempunyai kesempatan lebih besar untuk
menyaksikan ketidakkekalan. Manusia mudah bertemu dengan yang tidak disuka dan
berpisah dengan yang disuka. Kejelasan akan ketidakkekalan ini mempermudah
manusia untuk membuktikan kebenaran Kesunyataan Mulia yang pertama yaitu hidup
berisikan ketidakpuasan. Dengan menyadari Kesunyataan Mulia yang pertama, maka
manusia akan mampu merenungkan bahwa segala sumber ketidakpuasan adalah
keinginan. Dengan demikian, timbul dalam batinnya semangat untuk melaksanakan
Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan mengatasi ketidakpuasan.
Pelaksanakan Jalan Mulia inilah yang akan dapat membebaskan manusia dari
kemelekatan sehingga ia dapat mencapai Nibbana atau konsep Ketuhanan dalam
Agama Buddha. Kemungkinan besar manusia mencapai kesucian dalam kehidupan
inilah yang mendasari pengertian bahwa terlahir sebagai manusia adalah sebuah
kondisi yang ideal untuk mencapai kesempurnaan.
Sedangkan
di berbagai alam surga maupun alam menderita karena jangka waktu bahagia dan
menderita berlangsung sangat lama maka para mahluk di sana tidak mampu melihat
ketidakkekalan. Mereka sulit menyadari adanya perubahan. Dengan demikian,
merekapun sulit untuk memahami Empat Kesunyataan Mulia dan mencapai kesucian di
alam surga maupun alam menderita.
Tanya
06 :
Saya
setuju bahwa Nirwana bisa dijumpai dalam kehidupan sekarang. Apakah mungkin
bila tidak bertemu sekarang, orang tidak akan mencapai Nirwana?
Jawab
:
Nirvana atau Nibbana memang tidak harus dicapai dalam satu
kehidupan ini. Kalaupun seseorang masih belum mampu mencapainya dalam kehidupan
ini, ia hendaknya terus menerus melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan,
sehingga dalam satu masa kehidupan yang akan datang, ia mungkin baru akan
mencapainya. Namun, sebelum mencapai Nibbana, seseorang yang terus melaksanakan
Jalan Mulia Berunsur Delapan dengan tekun pasti akan mendapatkan kebahagiaan di
dunia ini maupun kebahagiaan setelah kehidupan ini yaitu terlahir di alam
bahagia. Jadi, bagaimanapun juga, pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan
selalu memberikan manfaat dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang selanjutnya
sampai seseorang mencapai kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana.
Tanya
07 :
Nasib,
apakah ada dan bagaimana cara menanggulangi, kiat mengatasi nasib?
Jawab
:
Dalam
pengertian Dhamma tidak dijumpai istilah nasib, kodrat maupun takdir. Dalam
Agama Buddha lebih dikenal istilah ‘kamma’ (Bhs. Pali) atau ‘karma’ (Bhs.
Sanskerta). Dengan mengenal berlakunya Hukum Kamma yang juga sering diartikan
sebagai Hukum Sebab dan Akibat, perjalanan hidup seseorang dapat diubah. Dasar
pengertian Hukum Kamma adalah mereka yang melakukan kebajikan akan memperoleh
kebahagiaan. Dengan demikian, semakin banyak seseorang melakukan kebajikan,
semakin besar pula kemungkinan dia untuk mendapatkan kebahagiaan dalam
kehidupan ini pula. Dengan demikian, seseorang yang ingin hidup berbahagia, ia
harus memperbanyak kebajikan dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Sedangkan,
mereka yang telah hidup berbahagia, ia hendaknya tidak pernah bosan untuk terus
menambah kebajikan agar hidupnya semakin berbahagia.
Sebagai
contoh bahwa perjalanan hidup seseorang dapat diubah melalui perbuatan (kamma)
yang harus ia kerjakan saat ini adalah kisah tentang seseorang yang dilahirkan
dalam kondisi menderita akibat kekurangan materi. Apabila ia dalam hidupnya
mampu selalu memperbanyak kebajikan, maka kondisi penderitaan yang dialami mungkin
saja berubah 180 derajad. Berubah total. Mungkin dengan berbagai kebajikan dan
kejujuran yang telah dilakukan akan mengkondisikan ia mudah mencari kerja dan
mendapatkan kepercayaan. Dengan demikian, dalam waktu singkat, perjalanan
hidupnya dapat berubah total. Mungkin saja, ia menjadi orang yang lebih mampu
daripada sebelumnya. Mungkin ia bahkan mampu mengajak orangtuanya hidup bersama
dengannya.
Sebaliknya,
mereka yang terlahir dalam kondisi kecukupan secara materi misalnya, apabila
tindakan yang ia lakukan tidak baik yaitu dengan melakukan pelanggaran lima
latihan kemoralan, maka hidupnya mungkin akan berubah total. Ia menjadi orang
yang tidak disukai lingkungannya. Ia menjadi orang yang tidak bahagia. Dengan
demikian, sudah jelas sekarang bahwa perbuatan seseorang atau kamma sangatlah
berperanan untuk mengkondisikan hidup seseorang menjadi bahagia atau bahkan
lebih bahagia serta mampu menghindari penderitaan.
Tanya
08 :
Kalau
kita berbuat baik berdasarkan pamrih apakah itu juga akan ada karma baiknya?
Jawab
:
Dalam
kenyataan, setiap orang yang belum mencapai kesucian atau terbebas dari
ketamakan, kebencian serta kegelapan batin pasti ia akan melakukan suatu
perbuatan dengan pamrih. Memiliki pamrih selama tidak dibarengi dengan
kemelekatan, kiranya masih dapat dianggap wajar. Oleh karena itu, dalam rumusan
doa di atas disebutkan niat ”Semoga dengan kebajikan yang saya lakukan sampai
saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk ….” Sepintas ‘doa’ ini memang
tampak berpamrih, namun, sebenarnya rumusan doa ini dipergunakan untuk
mengarahkan para umat dan simpatisan Buddhis yang masih dalam tahap awal agar
mereka berkenan melaksanakan kebajikan secara lebih terarah. Sedikit demi
sedikit, apabila batinnya mulai meningkat dengan pengertian Dhamma, maka ia pun
akan bisa diarahkan untuk mencapai kesucian atau Nibbana. Dalam tahap akhir
seperti ini, semua tindakan yang dilakukan tidak akan lagi mengharapkan pamrih.
Semua tindakan dilakukan demi tindakan itu sendiri. Kondisi ini seperti bunga
yang mekar demi mekarnya sendiri, bukan karena ingin diletakkan di tempat yang
bagus atau menghindari tempat yang buruk.
Adapun
perbuatan yang berpamrih, sejauh masih dapat digolongkan sebagai perbuatan baik
yang mampu memberikan kebahagiaan untuk banyak fihak, maka si pelaku masih
tetap dianggap menanam kamma baik yang pada suatu saat nanti akan ia rasakan
buah kebahagiaannya.
Tanya
09 :
Dalam
kenyataan hidup, kita selalu merasa kurang. Punya uang puluhan milyar, juga
masih kurang. Karena hidup ini tidak kekal, contohnya, kalau kalah dagang atau
bangkrut, belum tentu besok ada teman kita yang mau menolong. Dalam hal ini
mohon pengertian, sehingga kita merasa cukup.
Jawab
:
Pengertian
‘cukup’ memang bersifat sangat relatif. Oleh karena itu dalam Dhamma sebagai
ukuran minimal atau paling rendah adalah kecukupan yang dialami oleh para
bhikkhu. Para bhikkhu sudah cukup dengan terpenuhinya kebutuhan makanan,
pakaian, tempat tinggal maupun sarana kesehatan. Makanan para bhikkhu cukup
sehari sekali atau dua kali saja sebelum tengah hari. Pakaian cukup dengan satu
set jubah. Tempat tinggal cukup apabila sudah dapat membaringkan tubuh di goa
maupun di gubuk. Sarana kesehatan dengan menggunakan therapi urine sudah cukup.
Jadi, apabila seseorang telah mampu menyediakan sedikit lebih dari keperluan
minimal seorang bhikkhu, maka ia sesungguhnya bisa disebut cukup. Namun, kalau
sampai menyediakan secara berlebihan masih terasa tidak cukup, hal itu lebih
disebabkan karena adanya ketamakan. Demikian pula dengan uang yang puluhan
milyar, jika ia tidak mampu mengendalikan diri dari keinginan, maka
sesungguhnya ia sudah terjebak dalam ketamakan.
Kalau
seseorang kuatir gagal dalam usaha dan tidak ada yang menolong, maka ia harus
berusaha mandiri secara ekonomi dengan menyimpan hartanya di tempat yang
sesuai. Dengan demikian, ketika ia bangkrut dan tidak ada yang menolong, ia
masih bisa menolong dirinya sendiri. Besarnya simpanan yang diperlukan tentu
berdasarkan kebijaksanaan, bukan karena ketamakan. Menentukan beda
kebijaksanaan dan ketamakan kiranya membutuhkan kesadaran tinggi yang tidak
bisa ditentukan oleh orang lain. Dalam Dhamma, semua ini bukanlah keharusan.
Memiliki uang sedikit bisa disebut cukup, memiliki uang puluhan milyar bisa
merasa tidak cukup. Semuanya berpulang pada kebijaksanaan diri sendiri.
Tanya
10 :
Kalau
kita sembahyang dengan saji-sajian misalnya makanan, minuman dan buah-buahan
apakah betul itu diterima atau sebagai simbolis?
Jawab
:
Sesajian
yang dipersembahkan dalam upacara ritual Buddhis sesungguhnya lebih bersifat
tradisi dan simbolis. Kebiasaan mempersembahkan makanan di altar Sang Buddha
dimulai sejak Sang Buddha wafat. Para murid yang sudah berpuluh tahun membantu
Sang Buddha mempersiapkan makanan, ketika Sang Buddha wafat mereka masih juga
mempersiapkan makanan yang disajikan serta dibereskan pada waktu-waktu tertentu
setiap harinya. Kebiasaan ini berlangsung turun temurun sehingga akhirnya
sampai sekarang masih banyak orang yang mempersembahkan makanan, minuman maupun
buah-buahan di altar Sang Buddha maupun altar yang lain.
Persembahan
makanan, buah dsb di altar lebih ditujukan untuk melakukan penghormatan. Selain
itu, persembahan juga mempunyai makna simbolis atau lambang bahwa seseorang
yang telah mampu memberikan buah atau makanan yang terbaik di altar, hendaknya
ia juga mampu memberikan pikiran, ucapan serta perbuatan yang terbaik kepada
lingkungannya agar memberikan kebahagiaan serta kedamaian bagi semua fihak.
Tanya
11 :
Apakah
karma seseorang bisa diketahui dan bagaimana ciri-cirinya?
Jawab
:
Dalam
tradisi yang berkembang di masyarakat Buddhis, kamma bisa saja dikenali dari
wujud luar seseorang. Hal ini juga disebutkan dalam salah satu syair Dhamma
bahwa setiap orang dilahirkan oleh kamma sendiri, dilindungi oleh kamma
sendiri. Jadi, bentuk lahir seseorang adalah bagian dari kamma yang harus
dijalani. Oleh karena itu, dalam masyarakat dapat dijumpai orang yang mampu,
misalnya, membaca garis tangan untuk menyebutkan masa lalu maupun masa depan
seseorang. Kemampuan ini disebabkan karena garis tangan juga merupakan salah
satu tanda bawaan kamma lampau. Tentu saja, metoda membaca garis tangan yang
merupakan salah satu upaya mengetahui kamma seseorang ini bukan berasal dari
Ajaran Sang Buddha melainkan bagian dari tradisi suatu masyarakat. Sesungguhnya
masih banyak cara yang bisa dipergunakan untuk mengetahui kamma seseorang,
namun, satu contoh ini kiranya sudah dapat mewakili jawaban atas pertanyaan
ini.
Tanya
12 :
Sekarang
tentang meditasi. Apakah ada kemungkinan dan bagaimana melatih Samatha Bhavana
sebagai umat biasa?
Jawab
:
Dalam
kehidupan sebagai umat Buddha, sangat disarankan umat untuk berlatih meditasi
secara rutin. Lakukan meditasi setiap pagi bangun tidur dan malam hendak tidur.
Lakukan meditasi paling tidak selama 15 menit sampai dengan 30 menit setiap
kalinya. Adapun meditasi yang dapat dilakukan, sebagai dasar adalah meditasi
konsentrasi yang sering disebut sebagai Samatha Bhavana. Latihan
meditasi ini biasanya mempergunakan pengamatan dan perhatian pada proses masuk
keluarnya pernafasan yang berlangsung secara alamiah. Jadi, meditasi tidak
perlu mengatur pernafasan. Meditasi hanya mengamati dan mengetahui saat nafas
masuk dan saat nafas keluar. Jika pikiran memikirkan hal yang lain, maka pelaku
meditasi akan terus berusaha untuk mengembalikan konsentrasi pikiran pada
pengamatan proses pernafasan kembali. Demikian seterusnya dilakukan sampai
pikiran benar-benar terpusat pada obyek meditasi. Apabila seseorang telah mampu
memusatkan perhatian pada obyek meditasi, maka ia bisa melanjutkan tingkat
latihan meditasi yang telah dicapainya dengan mengembangkan kesadaran pada
segala gerak gerik pikiran, perasaan, maupun badan. Artinya, pelaku meditasi
menjadikan segala yang terjadi pada badan maupun batin sebagai obyek meditasi.
Meditasi mengembangkan kesadaran ini disebut sebagai Vipassana Bhavana.
Kedua
latihan meditasi ini hendaknya sering dilatih para umat Buddha agar semakin
lama seseorang mengikuti dan melaksanakan Ajaran Sang Buddha, semakin tinggi
pula kesadaran yang ia miliki untuk selalu mengamati gerak gerik badan dan
batinnya. Kesadaran yang maksimal tentang badan dan batin ini akan menuju pada
tercapainya kesucian yaitu Nibbana dalam kehidupan ini juga.
Tanya
13 :
Bagaimana
cara menghindari pengaruh roh halus, setan dalam bermeditasi ?
Jawab
:
Dalam
bermeditasi, pada awalnya seseorang hendaknya selalu berusaha memusatkan
perhatian pada obyek konsentrasi, misalnya proses masuk dan keluarnya
pernafasan. Dengan demikian, apabila terjadi ‘penampakan’, pelaku meditasi
hendaknya tidak menghiraukannya. Ia harus tetap memusatkan perhatian pada obyek
meditasi. Dengan mampu memusatkan pikiran pada obyek, maka secara bertahap
segala bentuk penampakan dan gangguan akan lenyap dengan sendirinya.
Namun,
pelaku meditasi tahap lanjutan boleh mempergunakan kesadaran penuh untuk
mengetahui dan mengamati adanya gangguan mahluk halus. Pelaku meditasi hanya
mengetahui saja segala penampakan yang ada tanpa harus timbul rasa takut maupun
benci. Dengan pengembangan kesadaran yang tinggi, mahluk halus itupun akhirnya
akan lenyap dan tidak mengganggu lagi.
Namun,
kalau pelaku meditasi masih belum mempunyai konsentrasi maupun kesadaran yang
cukup tinggi, maka ia boleh juga mengucapkan berkali-kali dalam batin kalimat
”Semoga semua mahluk berbahagia”. Kalimat ini adalah merupakan kalimat
pemancaran pikiran penuh cinta kasih yang merupakan sarana ampuh untuk
mengkondisikan agar para mahluk halus itu tidak mengganggu lagi. Dengan
demikian, latihan meditasi dapat dilanjutkan dengan pikiran tenang dan damai, bebas
dari berbagai ‘penampakan’.
Demikianlah
semua pertanyaan sudah terjawab secara singkat.
Semoga
uraian Dhamma tentang konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha dan juga jawaban atas
berbagai pertanyaan di atas dapat bermanfaat serta menambah keyakinan Anda pada
Ajaran Sang Buddha.
Semoga
keyakinan Anda akan menjadi pendorong untuk selalu melaksanakan Ajaran Sang
Buddha dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercapailah kebahagiaan di dunia,
kemudian, kebahagiaan setelah kehidupan ini dan bahkan kebahagiaan Nibbana.
Semoga
Anda selalu berbahagia.
Semoga
semua mahluk yang tampak maupun mahluk yang tidak tampak akan mendapatkan
kebahagiaan sesuai dengan kamma baik yang mereka miliki sendiri.
Semoga
demikianlah adanya.
Sabbe
Satta Bhavantu Sukhitatta.
Disadur: http://www.samaggi-phala.or.id
Disadur: http://www.samaggi-phala.or.id
No comments:
Post a Comment