Friday 27 December 2013

CATTARI ARIYA SACCANI

CATTARI ARIYA SACCANI
(Empat Kesunyataan Mulia)

DALAM khotbah-Nya yang pertama di Tamari Rusa Isipatana yang terkenal dengan nama Dhamma Cakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma), Sang Buddha Gotama telah mengajarkan secara singkat Empat Kesunyataan Suci (Cattari Ariya Saccani), yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.
Empat Kesunyataan Suci tersebut adalah :
A. KESUNYATAAN SUCI TENTANG DUKKHA (Dukkha Ariyasacca)
Kata "dukkha" disini, yang menyatakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dan dunia, mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang amat luas.
Dalam khotbah-Nya yang pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna, Beliau merumuskan dukkha dengan istilah sebagai berikut :
"Kelahiran, usia tua dan kematian adalah dukkha; kesakitan, keluh kesah, ratap tangis, kesedihan dan putus asa adalah dukkha; berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang tidak disenangi, dan tidak memperoleh apa yang diingini adalah dukkha. Dengan ringkas, jasmani dan bathin (segala bentuk kehidupan) adalah dukkha".
Banyak orang salah mengerti terhadap Ajaran ini, dan beranggapan bahwa Buddha Dhamma adalah ajaran pesimistis, yang memandang dunia ini dari sudut negatif. karena itu disini perlu ditegaskan bahwa Buddha Dhamma bukanlah Ajaran yang bersifat pesimistis atau optimistis. Sang Buddha adalah seorang realis dan obyektif; Beliau memandang segala sesuatu menurut hakekat yang sebenarnya berdasarkan Pandangan Terang (Yathabhutamnanadassanam).

Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam Kajian Buddha-dhamma

Pengertian Agama

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kata agama didefinisikan sebagai suatu system, prinsip kepercayaan kepada tuhan (dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.
Dalam Buddha Dhamma kata agama lebih dikenal dengan sebutan Sasana atau Dhamma, yang secara harafiah berarti kebenaran atau kesunyataan. Agama Buddha sering disebut Buddha Dhamma atau Buddha Sasana yang artinya ajaran yang menghantarkan orang yang melaksanakannya agar hidup bahagia di dunia, setelah kematian dapat terlahir di alam surga dan hingga pada akhirnya mencapai tujuan tertinggi yaitu tercapainya Nibbana. Buddha Dhamma sebagai pedoman untuk membebaskan diri dari penderitaan, sehingga mencapai kebahagiaan dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

Peranan Agama-Agama

Di dalam keyakinan umat beragama, umat Buddha hendaknya menanamkan keyakinan yang kokoh kepada Tuhan Yang Maha Esa, Buddha, Dhamma dan Sangha, sehingga terjalin suatu toleransi sesama agama yang ada di Indonesia. Dasar keyakinan agar terbentuknya suatu kerukunan umat beragama dalam agama Buddha, diikrarkan oleh raja Asoka Wardana yang merupakan salah satu raja yang berkeyakinan terhadap Buddha. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Prasasti Batu Kalinga No XXII Raja Asoka yang memeluk agama Buddha pada abad ketiga sebelum masehi, yang berbunyi:

Thursday 12 December 2013

JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN


(Ariya Atthangiko Magga)

Dalam Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta Nikaya 56.11 {S 5.420}, Guru Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani) kepada Lima Bhikkhu Pertama (Panca Vaggiya Bhikkhu), yang di dalamnya terdapat Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha. Jalan itu disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga).
Di dalam Jalan ini mengandung unsur sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan). Berikut pengelompokan unsur yang terkandung di dalamnya:
Pañña
1. Pengertian Benar (sammâ-ditthi)
2. Pikiran Benar (sammâ-sankappa)
Sila
3. Ucapan Benar (sammâ-väcä)
4. Perbuatan Benar (sammâ-kammanta)
5. Pencaharian Benar (sammâ-ajiva)
Samâdhi
6. Daya-upaya Benar (sammâ-vâyama)
7. Perhatian Benar (sammâ-sati)
8. Konsentrasi Benar (sammâ-samâdhi)

Tuesday 24 September 2013

KEWAJIBAN SEORANG SUAMI



Di dalam agama Buddha tidak dibahas hak seorang suami, yang ada hanyalah kewajiban seorang suami sebagai kepala keluarga. Dalam Mangala Sutta terdapat sebuah bait yang bunyinya sebagai berikut :

MATAPITU UPATTHANAM
PUTTADARASSA SANGAHO
ANAKULA CA KAMMANTA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
artinya :
Menyokong dan merawat ayah dan ibu
Membahagiakan anak dan istri
Pekerjaan yang bebas dari keruwetan
Itulah Berkah utama
(Khuddaka Patha halaman 3)

Seorang suami sebagai kepala keluarga wajib memiliki penghasilan yang secukupnya agar dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Ia wajib membahagiakan anak dan isterinya di samping menyokong dan merawat kedua orang tuanya yang masih hidup. Kepada orang tua dan leluhur yang sudah meninggal maka ia wajib melakukan Pattidana (Melakukan perbuatan-perbuatan jasa yang kemudian dilimpahkan kepada para almarhum tersebut)

Agar seorang suami tidak dibenci oleh isterinya maka ia wajib rajin bekerja agar tidak jatuh miskin, wajib memelihara kesehatan agar tidak sakit-sakitan, wajib menghindarkan minuman keras agar tidak mabuk-mabukan, wajib banyak belajar agar tidak bodoh, wajib bersikap telaten dan perduli agar tidak mengabaikan isterinya, jangan terlalu sibuk dan dapat membagi waktunya untuk isteri, wajib berhemat dan tidak meng-hambur-hamburkan uang

(Jataka V, 433)

Saturday 21 September 2013

KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA


KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA
Oleh Bhikkhu Uttamo

Umat Buddha kadang dianggap masyarakat luas sebagai orang yang tidak bertuhan. Agama Buddha sering pula dikatakan sebagai agama yang tidak bertuhan. Bahkan, pada suatu pertemuan dengan para pemuka agama, saya pernah menerima pernyataan dari pemuka agama lain bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Menanggapi pernyataan yang bersifat tuduhan ini, saya jawab dengan pertanyaan lain: ”Manakah agama di Indonesia yang bertuhan?” Tentu saja para pemuka agama itu langsung tersentak kaget dan merah padam mukanya. Mereka seolah tidak percaya dengan pertanyaan saya tersebut. Namun, saya segera melanjutkan dengan keterangan bahwa istilah ‘tuhan’ sesungguhnya berasal dari Bahasa Kawi. Oleh karena itu, pengertian kata ‘tuhan’ terdapat dalam kamus Bahasa Kawi. Disebutkan dalam kamus tersebut bahwa ‘tuhan’ berarti penguasa atau tuan. Dan, karena di Indonesia tidak ada agama yang mempergunakan Bahasa Kawi sebagai bahasa kitab sucinya, lalu agama manakah di Indonesia yang bertuhan dan mencantumkan istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci aslinya? Menyadari kebenaran tentang bahasa asal kitab suci masing-masing, barulah mereka menerima bahwa memang tidak ada istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci mereka. Jika demikian dalam Tipitaka, kitab suci Agama Buddha, tentu juga tidak akan pernah ditemukan istilah ‘tuhan’ karena Tipitaka menggunakan Bahasa Pali yaitu bahasa yang dipergunakan di India pada jaman dahulu. Namun, tidak adanya istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci Tipitaka tentunya tidak boleh dengan mudah dan sembarangan kemudian orang menyebutkan bahwa ‘Agama Buddha tidak bertuhan’. Salah pengertian dan penafsiran sedemikian sembrono tentunya berpotensi menjadi pemicu pertentangan antar umat beragama di Indonesia bahkan di berbagai belahan dunia.

Sunday 11 August 2013

Empat Tingkat Kesucian



Empat Tingkat Kesucian
Dalam ajaran Buddha terdapat empat jenis tingkatan kesucian.  Dimana hal ini dicapai bagi ia yang telah membasmi dan melemahkan belenggu-belenggu penghalang pencapaianya. Penggolongan manusia awam/biasa pada umumnya diluar dari empat tingkat kesucian tersebut yang disebut putthujhana/manusia biasa yang masih tercengkram kuat oleh tiga kekotoran batin yaitu lobha/keserakahan, dosa/kebencian dan moha/kebodohan batin.
Dalam artikel ini empat jenis kesucian akan dibahas berdasarkan Belenggu yang disingkirkan dan kelahiran yang tersisa. Untuk lebih jelas perhatikan table berikut:

Tingkat Kesucian
Belenggu yang Baru disingkirkan
Jenis Kelahiran ulang yang tersisa
Sotāpanna
          Sakkāyadiṭṭhi, (dibasmi)
         Vicikiccha, (dibasmi)
         Silabbataparāmāsa (dibasmi)
Paling banyak tujuh kali lagi kelahiran di alam deva dan manusia dengan kondisi bahagia.
Sakadāgāmi
         Kāmarāga (hanya lemah)
          Paṭigha (hanya lemah)
Satu kali lagi kehidupan di alam lingkup indrawi dengan kondisi bahagia.
Anāgāmi
         Kāmarāga (dibasmi)
            Paṭigha (dibasmi)


Kelahiran spontan di alam arūpa
Arahat
                 Rūparāga (dibasmi)
                Arūparāga (dibasmi)
Māna (dibasmi
 Uddhacca (dibasmi)
Avijjā (dibasmi)
Tidak terlahir lagi/Nibbāna.

Keterangan sepuluh macam belenggu:
1.      Sakkāyadiṭṭhi (kepercayaan tentang akan adanya diri yang terpisah dan kekal/atta)
2.      Vicikiccha (keraguan terhadap Buddha dan ajara-Nya)
3.      Silabbataparāmāsa (Kepercayaan terhadap upacara yang tergolong dalam pandangan salah)
4.      Kāmarāga (hawa nafsu/nafsu inderia rendah)
5.      Paṭigha (kebencian, dendam, kemauan jahat, kedengkian)
6.      Rūparāga (kemauan/keinginan untuk hidup di alam rūpa/materi)
7.      Arūparāga (kemauan/keinginan untuk hidup di alam ārūpa/tanpa materi)
8.      Māna (kesombongan)
9.      Avijjā (kebodohan batin, kegelapan batin).
Penjelasan:
Sotāpanna : Seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, ia telah berhasil membasmi tiga macam belenggu dari sepuluh belenggu yang menghalangi pencapaian kesucian Arahat. Tidak akan muncul lagi kepercayaan tentang akan adanya diri yang terpisah dan kekal/atta , tidak akan ada keraguan terhadap Buddha dan ajara-Nya, dan tidak akan ada Kepercayaan terhadap upacara yang tergolong dalam pandangan salah di dalam konsepsinya. Ketiga hal tersebut ia basmi dengan pandangan benar yang berhubungan dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan, sehingga pemahaman tersebut dikatakan pencerahan karena ia yang mencapai tingkatan kesucian Sotāpanna ini, telah melihat dengan benar bahwa tiga belenggu itu merupakan penghalang.
Sakadāgāmi. Dikatakan telah mencapai tingkatan Sakadāgāmi bila seseorang telah membasmi tiga belenggu yang pertama dan melemahkan dua belenggu selanjutnya. Sakkāyadiṭṭhi, Vicikiccha dan Silabbataparāmāsa telah dibasmi dengan tuntas oleh Sakadāgāmi, sedangkan Kāmarāga atau hawa nafsu rendah dan Paṭigha atau kebencian, dendam, kemauan jahat, dua hal itu hanya dilemahkan oleh Sakadāgāmi. Dikatakan lemah karena ia dapat mengendalikan dua belenggu tersebut namun sesungguhnya dua belenggu tersebut masih terdapat dalam dirinya. Maka dari itu kata melemahkan sangatlah cocok untuk menggantikan istilah ini.
Anāgāmi Seseorang yang telah mencapai tingkatan Anāgāmi ia tidak akan terlahir kembali di alam  manusia. Kelahiranya hanya bersisa satu kali lagi. Yaitu di alam Tusita. Di alam ini seorang Anāgāmi terlahir secara sepontan atau opapatika. Hal ini dikarenakan usahanya yang gigih dari penimbunan kebajikan paramita dan usahanya yang gigih dalam membasmi belenggu-belenggu penghalang pencapaian tingkat kesucian. Seorang Anāgāmi telah membasmi Lima kekotoran batin. Tidak ada lagi Sakkāyadiṭṭhi, Vicikiccha, Silabbataparāmāsa, Kāmarāga dan Paṭigha di dalam dirinya. Semua itu telah ia basmi sampai ke akar-akarnya. Sehingga ia disebut seorang Anāgāmi yaitu yang “Tak Kembali Lagi”. Yang dimaksud tak kembali lagi disini ialah tidak akan terlahir lagi di alam manusia dan Empat alam Apaya.
Arahat. Arahat adalah seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian yang tertinggi. Ia telah menyelesaikan tugas yang sesungguhnya. Kelahiran yang sekarang adalah kelahiranya yang terakhir. Setelah badan atau jasmaninya hancur maka ia pun tidak akan terlahir di alam manapun juga. Buddha memberikan perumpamaan kepada Upayisa. Ketika Upayisa menanyakan hal ini. Perumpamaan tersebut di ibaratkan seperti hal nya api yang padam setelah tertiup oleh angin. Tak ada yang tahu dimana letak api tersebut setelah ia padam, begitu juga dengan seorang Arahat. Seorang Arahat tidak akan telahir lagi di alam manapun. Karena tidak ada kelahiran bagi arahat maka usia tua, sakit dan kematian serta lingkaran samsara telah tiada bagi Arahat. Karena hal-hal tersebut tidak dijumpai lagi maka ia telah mengakhiri dukkha/penderitaan. Untuk menjadi seorang Arahat harus membasmi sepuluh macam kekotoran batin. Sedikitpun dari sepuluh belenggu tersebut tidak ada yang tersisa. Ketika hal itu terjadi maka seseorang tersebut adalah suci karena tidak ada kekotoran atau belenggu di dalam dirinya.
Empat jenis kesucian tersebut dapat dicapai atas usaha sendiri dari memahami Dhamma/kebenaran disamping itu factor yang tidak kalah penting adalah Paramita yang akan selalu mendukung pencapaian tersebut. Untuk lebih jelas silahkan mencari refrensi tentang sepuluh paramita atau Dasaparami pada refrensi Buddhist.
Semoga menambah wawasan. (http://vgbmbatam.blogspot.com/)
Refrensi:
-          Bhikkhu Bodhi. 2009. Tipitaka Tematik, Ehipassiko.
-          Panjika. 2004. Kamus Umum Buddha Dharma. Tri Satva Buddhist Centre.
-          Tipiṭakadhara. Mingun Sayadaw. Riwayat Agung Para Buddha 1,2 dan 3. Ehipassiko Collection dan Girimaṅgala.
-          Bhikkhu Kusaladhamma. 2009. Kronologi Hidup Buddha. Ehipassiko Foundation.

Tuesday 16 July 2013

Apakah Umat Buddha Penyembah Berhala?

August 22, 2008 by Upc. A.S. Yantasilo S.Kom.

Dalam setiap agama pasti terdapat objek-objek atau simbol-simbol yang ditujukan untuk penghormatan. Dalam Buddhisme terdapat tiga objek agama yang utama untuk tujuan tersebut, yaitu:

Saririka atau relik-relik jasmani Sang Buddha;
Uddesika atau simbol-simbol agama seperti rupang (patung, gambar) Sang Buddha dan cetiya atau pagoda;
Paribhogika atau barang-barang pribadi yang pernah digunakan oleh Buddha.

Sudah menjadi hal yang biasa bagi semua umat Buddha di seluruh dunia untuk memberikan penghormatan kepada objek-objek di atas. Dan juga merupakan tradisi umat Buddha untuk membangun rupang Sang Buddha, cetiya atau pagoda pagoda serta menanam pohon Bodhi di setiap Vihara sebagai objek penghormatan keagamaan.

Banyak orang salah paham dan menggangap umat Buddha sebagai penyembah berhala. Kesalahpahaman ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang ajaran Buddha serta adat istiadat dan tradisi Buddhis.

Penyembahan berhala secara umum berarti mendirikan patung dewa-dewi di beberapa agama theistik dalam berbagai bentuk oleh pemeluknya untuk disembah, mencari berkah dan perlindungan serta untuk berkah kemewahan, kesehatan dan kekayaan para pemohon. Beberapa pemohon bahkan memohon kepada patung untuk memenuhi bermacam kekuasaan pribadi walaupun kekuasaan itu diperolehi dengan cara yang salah. Mereka juga berdoa agar dosa mereka diampuni.

Monday 1 July 2013

Yin-Yang sebagai dasar berpikir positif


Positif thinking... sepertinya kalimat itu tidak asing lagi untuk kita. memang berpikir positif sangat membantu dalam menjalani kehidupan ini, khususnya untuk memperoleh kebahagiaan yang didambakan. dengan berpikir positif masalah yang tadinya besar bisa dikecilkan, masalah yang kecil bisa dihilangkan dan masalah yang akan timbul bisa ditahan agar tidak jadi masalah.
Nah yang jadi permasalahan memang banyak anjuran yang menyatakan harus selalu berpikir positif.. dan setiap anjuran pada umumnya mudah untuk di ucapkan karena anjuran tersebut berupa teori. Namun terkadang kita tidak tahu bahkan bingung harus dimulai dari mana... Ada satu hal yang dapat kita jadikan dasar atau landasan agar kita bisa membiasakan diri berpikir positif. Salah satu cara yang dapat dipraktikan adalah memahami tentang simbol yang sangat luar biasa ini:

Lambang bola dengan 2 sisi warna yang berbeda ini di namakan Yin-Yang. Ada maknya yang sangat berhaga di balik lambang ini. Coba perhatikan lambang tersebut. Pada sisi warna hitam terdapat titik yang berwarna putih. Begitu juga pada sisi warna putih terdapat satu titik yang berwana hitam. Apa maknanya? Sisi hitam dan titik putih bearti adalah sifat manusia, yang sebenarnya seburuk-buruknya manusia pasti ada segi baiknya walaupun hanya satu titik. Begitu juga pada sisi putih dan titik hitam, sebaik-baiknya orang pasti ada sisi buruknya yang tidak kita ketahui.
Dengan mengerti hal ini.. Hendaknya salalu dapat menanamkan pikiran positif pada lingkungan dan orang-orang di sekitar yang kita jumpai. Selanjutnya kita bisa menghargai sekecil apapun kehidupan dan bisa menghargai orang-orang yang kita jumpai sebagai manusia yang sama-sama memiliki hak dan potensi

Sang Buddha Teladan Sejati

Sang Buddha Teladan Sejati
Oleh: Bhikkhu Indadharo
Para bhikkhu, ada satu orang yang kemunculannya di dunia ini adalah demi kesejahteraan semua makhluk, demi kebahagiaan amat banyak makhluk, yang datang karena kasih sayang kepada dunia, untuk kebaikan, kesejahteraan serta kebahagiaan pada dewa dan manusia. Siapakah satu orang itu? Beliau adalah Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Telah Sepenuhnya Tercerahkan. (Aguttara Nikāya I, XIII; 1, 5, 6)
Di kehidupan bermasyarakat, kita tidak pernah lepas dari namanya masalah. Dalam menjalani masalah tersebut terkadang kita bisa mengatasinya dengan baik dan bijak namun juga tidak jarang kita menyelesaikannya dengan hal-hal yang justru membawa kerugian bagi diri kita sendiri. Sehingga dalam hidup ini kita juga membutuhkan keyakinan (Saddha) dan semangat (Viriya) dalam menjalani hidup di lautan samsara ini. Tetapi keyakinan yang dimaksud bukanlah keyakinan yang hanya dilandasi oleh rasa percaya begitu saja (secara membuta), di dalam Kalama Sutta Sang Buddha menjelaskan bahwa; “Jangan percaya hal apapun hanya karena kamu telah mendengarnya, jangan percaya begitu saja hanya karena hal itu telah dipergunjingkandan dibicarakan oleh banyak orang, jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu tertuis dalam kitab-kitab keagamaanmu, jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu dikatakan berdasarkan otoritas guru-guru dan sesepuh-sesepuhmu, jangan percaya tradisi apapun hanya karena tradisi itu telah diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya, tetapi seteah kamu observasi dan analisis, maka ketika kamu mendapati hal apapun sejalan dengan akal budimu dan menolongmu untuk mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi satu dan semua orang, maka terimalah dan jalankanlah.”

KULĀVAKA-JĀTAKA



KULĀVAKA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Biarkan semua anak burung di hutan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang minum tanpa menyaring airnya terlebih dahulu66.
Menurut kisah yang diceritakan secara turun temurun, dua orang bhikkhu muda yang saling bersahabat meninggalkan Sawatthi menuju sebuah desa, di sana mereka tinggal di suatu tempat yang menyenangkan. Setelah menetap beberapa saat, mereka meninggalkan tempat itu menuju ke Jetawana, untuk mengunjungi Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha).
Hanya salah seorang dari mereka yang membawa saringan air, yang seorang lagi tidak membawanya, maka mereka berdua menggunakan saringan yang sama sebelum minum. Suatu hari mereka bertengkar. Pemilik saringan tidak mau meminjamkan saringan itu kepada temannya, ia menyaring dan meminum sendiri air yang telah disaringnya itu.
Karena temannya tidak mau memberikan saringan itu, dan karena ia tidak mampu menahan rasa haus yang menyerangnya, ia minum air tanpa disaring terlebih dahulu. Akhirnya tibalah mereka di Jetawana, dan segera memberikan salam dengan penuh penghormatan kepada Sang Guru sebelum duduk. Setelah menyapa mereka dengan ramah, Beliau bertanya dari manakah mereka berdua datang.

Sunday 30 June 2013

Lima Kekuatan Dhamma yang luar biasa (Pancabala)

Di dalam Anggutara Nikaya buku ke III.10 ada lima macam kekutan Dhamma yang dapat menunjang kehidupan.. yaitu :
1. Saddhabala : Kekuatan dari keyakinan
2. Viriyabala : Kekuatan dari semangat
3. Satibala : Kekuatan dari kesadaran
4. Samadhibala : Kekuatan dari Konsentrasi atau perhatian
5. Pannabala: Kekuatan dari Kebijaksanaan

Penjelasan:
1. Saddhabala: dalam hal ini ketika seseorang memiliki kekuatan keyakinan yang kokoh kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, maka dalam menjalani kehidupan ia akan selalu berada pada kebenaran/Dhamma. ia begitu yakin sehingga apapun yang terdapat di dalam ajaran Buddha ia pelajari, renungkan, buktikan dan ia praktekan, sehingga mengetahui manfaat dari penerapan Dhamma.

Buddha Manggala

Setelah melalui empat asakhyeyya dan seratus ribu kappa, seorang pacceka buddha pencapai pencerahan dan menjadi buddha. Kurun waktu yang tak terhitung itu menjadikan sulitnya untuk menjumpai buddha di dunia ini. Namun sebenarnya ada banyak buddha yang telah muncul di alam semesta ini. Jika dihitung dari masa masa bodhisata sumedha yang merupakan pacceka buddha gotama maka terdapat dua puluh empat buddha. Namun sebelum dua puluh empat Buddha tersebut muncul masih banyak para Buddha yang telah muncul di alam semesta ini.
Pada edisi ini salah satu Buddha yang patut kiranya untuk diketahui dari para Buddha yang telah ada di alam semesta ini adalah Buddha Magala. Buddha Magala merupakan salah satu Buddha yang pernah ada jauh sebelum munculnya Buddha Gotama. Bahkan Boddhisata calon Buddha Gotama yang saat itu terlahir sebagai seorang brahmana yang bernama Suruci sempat melakukan Paramita kepada Buddha Magala berupa berdana makanan yang berjumlah besar dengan cara mengundang Buddha Magala beserta para bhikkhu ke kediaman-Nya.

KETELADANAN



Oleh: B. Upasamo

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhasssa

Yo ca Buddhañca Dhammañca Saṅghañca saranaṁ gato cattāri ariyasaccāni sammappaññāya passati
Ia yang telah berlindung pada Buddha, Dhamma, Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, teladan berarti sesuatu yang patut ditiru, atau baik untuk dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan, sifat, dan sebagainya). 

Dalam kehidupan sehari-hari, yang sering kita jadikan teladan adalah orang tua kita, tetapi sering tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kita merasa orang tua kita terlalu pengatur, suka marah, dan tidak mengerti akan diri kita. Kita lalu beralih ke paman atau bibi , tetapi ternyata juga tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Kita menjadi kacau karena merasa orang-orang yang dekat, yang kita banggakan, ternyata tidak sesuai dengan harapan. Kita kemudian beralih ke teman yang kita rasa bisa  diandalkan. Tapi ternyata, kita pun kecewa, teman kita tidak seperti yang kita harapkan. Jika tidak mendapatkan sosok yang bisa kita teladani, kita menjadi bimbang dan ragu atas apa yang kita lakukan.