Sunday 30 June 2013

KETELADANAN



Oleh: B. Upasamo

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhasssa

Yo ca Buddhañca Dhammañca Saṅghañca saranaṁ gato cattāri ariyasaccāni sammappaññāya passati
Ia yang telah berlindung pada Buddha, Dhamma, Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, teladan berarti sesuatu yang patut ditiru, atau baik untuk dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan, sifat, dan sebagainya). 

Dalam kehidupan sehari-hari, yang sering kita jadikan teladan adalah orang tua kita, tetapi sering tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kita merasa orang tua kita terlalu pengatur, suka marah, dan tidak mengerti akan diri kita. Kita lalu beralih ke paman atau bibi , tetapi ternyata juga tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Kita menjadi kacau karena merasa orang-orang yang dekat, yang kita banggakan, ternyata tidak sesuai dengan harapan. Kita kemudian beralih ke teman yang kita rasa bisa  diandalkan. Tapi ternyata, kita pun kecewa, teman kita tidak seperti yang kita harapkan. Jika tidak mendapatkan sosok yang bisa kita teladani, kita menjadi bimbang dan ragu atas apa yang kita lakukan.


Mengapa kita memerlukan keteladanan? Karena Untuk mendapatkan pengakuan atau  penghargaan atas apa yang dilakukan. Dengan adanya keteladanan, maka ucapan dan perbuatan yang kita lakukan, terasa benar karena sesuai dengan orang-orang yang kita teladani.
Kita semua memerlukan seseorang yang bisa kita jadikan teladan. Guru agung kita sendiri, Buddha Gotama pun menginginkan hal itu. Ketika Beliau mencapai pencerahan dan berpikir, akan berbahagia bila saya bisa mengantungkan hidup saya pada seseorang, tempat untuk bertanya dan diskusi, yang bisa saya tinggikan.Tapi saya tidak melihat ada manusia, petapa, dewa, mara, atau brahmana yang bisa saya jadikan sandaran. Tidak ada satu makhluk pun yang menyamai saya dalam sila, samadhi, dan pañña, jadi biarlah saya menjadikan Dhamma sebagai sandaran saya.
Jadi kita semua memerlukan keteladanan, tetapi tentunya kita tidak bisa meneladani orang tua kita sepenuhnya, demikan pula paman dan bibi serta teman-teman kita. Mengapa? Karena mereka bukan orang suci. Mereka juga melakukan banyak kesalahan dalam hidupnya. Mereka memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Jadi kita tidak perlu marah dan kecewa kepada mereka. Mereka pun memerlukan keteladanan dalam hidupnya.

Lalu siapakah yang bisa kita jadikan teladan dalam menjalani kehidupan sehari-hari ? Teladan terbaik adalah kepada Tiratana:
Meneladani Buddha
Bagaimana kita bisa menjadikan Buddha sebagai teladan?
Dengan mengetahui riwayat hidupnya.
Beliau adalah seorang pangeran yang selalu diliputi oleh kesenangan indria. Memiliki tiga istana untuk setiap musim. Setiap hari disunguhi nyanyian dan tarian oleh pelayan, yang semuanya perempuan muda dan cantik, makanan yang enak dan mewah. Beliau dianugerahi kekayaan dan ketampanan.
Namun walaupun begitu, beliau tidak menjadi sombong dan congkak. Berapa banyak diantara kita, ketika kita memiliki kelebihan dari orang lain, kita merasa hebat dan sombong, tinggi hati menyelimuti kita. Kesombongan dan kecongkakan ini membuat kita cepat marah, cepat tersinggung jika tidak diakui, jika tidak dipandang dan dihormati orang lain. Kita selalu ingin menang dan diprioritaskan. Kita selalu ingin dihargai orang lain. Tentu hal ini membuat kita bertambah susah.
Beliau juga memberi contoh, jangan larut dalam kesenangan indria karena kesenangan indria tidak akan pernah terpuasakan. Jadi hiduplah sederhana, kendalikan keinginan yang tidak pernah habis dan terpuaskan. Kita bisa mengalaminya sendiri. Ketika tercapai satu keinginan, muncul lagi keinginan yang lainnya. Mereka tidak akan pernah cukup. Mengendalikan keinginan dan kesenangan indria akan mendatangkan kebahagiaan.
Saat beliau memutuskan menjadi petapa, meninggalkan segala kesenangan dan kemewahan, beliau melakukan hal itu karena cinta kasih yang sangat besar kepada kita. Dengan perjuangan keras, beliau menjadi Buddha. Ini menjadi satu teladan penting. Ketekunan dan perjuangan diperlukan untuk mencapai apa yang kita cita-citakan. Jangan mau gampangnya, instant, tidak mau susah-susah. Jika berpikir mau mudah saja, kita menjadi orang yang lemah, ada kesulitan sedikit saja kita menyerah. Tanpa perjuangan dan ketekunan, bisa membuat kita mencapai cita-cita kita dengan cara yang curang.
Selama empat puluh lima tahun berjuang menyebarkan Dhamma demi kebahagiaan bukan saja untuk keluarganya, tapi untuk semua makhluk, baik dewa maupun manusia. Beliau hanya tidur satu jam saja, hidupnya benar-benar ditujukan untuk menyebarnya Dhamma. Karena itu mari kita mempergunakan waktu kita dengan sebaik-baiknya berkarya bukan hanya untuk keluarga kita, tapi untuk semua makhluk.
Dalam mengajar, semua tindakan dan ucapannya demi kebaikan semua makhluk, demi kepentingan dan perkembangan batin semua makhluk hidup. Tentu ini teladan yang luar biasa. Sudahkah kita melakukan sesuatu untuk kebaikan banyak orang?
Sebenarnya, banyak teladan yang bisa kita dapat dari seorang Buddha, karena beliau adalah yang tercerahkan sempurna, sempurna pikiran, ucapan, dan perbuatan beliau, tapi hanya beberapa saja yang saya berikan disini. Anda sendiri tentu bisa memberikan teladan yang lainnya yang bisa anda jadikan contoh dalam kehidupan anda sehari-hari.
Mari, kita menjadikan Buddha sebagai teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Meneladani Dhamma
Buddha mengatakan, setelah Aku tiada, Dhamma dan vinaya itulah penggantiku. Buddha juga mengatakan siapa yang melihat Aku berarti ia melihat Dhamma, siapa yang melihat Dhamma berarti ia melihat Aku. Jadikanlah Dhamma sebagai pelindungmu, bukan yang lainnya. Karena itu, walaupun Buddha sudah tidak ada di dunia ini, Beliau meninggalkan Dhamma sebagai penggantinya.
Bagaimana meneladani Dhamma dalam kehidupan sehari-hari?
Yaitu dengan melihat Dhamma. Bisakah kita melihat Dhamma? Dhamma itu berada sangat dekat dengan kita. Keluarlah dari pintu rumahmu, lihatlah sekeliling, banyak daun berguguran di lantai. Daun yang jatuh di lantai, itulah Dhamma. Daun itu awalnya masih muda dan mengkilat, lalu menjadi tua, kuning layu, dan akhirnya jatuh di lantai. Demikian dengan diri kita. Sekarang masih muda, nanti kita pun akan layu.
Jika sulit melihat pohon, bukalah album foto. Di sana ada orang tua kita juga ada diri kita. Lihatlah. Dulu di foto ini, ayah dan ibuku masih muda, sekarang mereka sudah ubanan. Di foto itu waktu saya masih kecil, sekarang saya sudah dewasa. Ternyata kita terus mengalami perubahan menuju ketuaan. Itulah contoh Dhamma.     Tentunya banyak contoh Dhamma yang ada di sekitar kita. Bisakah anda melihatnya?
Satu keuntungan dari Dhamma adalah tidak lapuk oleh waktu. Dhamma yang kita pelajari sekarang akan sama di masa depan. Tidak berubah oleh waktu dan tempat, berlaku kepada siapa saja, suku, atau bangsa apa saja.
Tapi kalau kita mau merasakan manfaat Dhamma, harus dilaksanakan masing-masing oleh diri sendiri, tidak boleh diwakilkan. Jadi kalau kita mau merasakan manfaat meditasi, kita tidak bisa meminta orang lain untuk bermeditasi untuk kita.

Suatu ketika, Buddha Gotama berada di hutan bersama para bhikkhu, kemudian Beliau mengambil daun yang diletakkan dalam genggamannya dan berkata, para bhikkhu, mana yang lebih banyak, daun di genggaman saya atau daun yang ada di hutan ini. Para bhikkhu menjawab, daun yang ada di genggaman Sang Bhagava sangat sedikit dibandingkan daun yang ada di hutan ini. Daun yang ada di hutan ini sangat banyak. Demikianlah para bhikkhu, hanya sedikit Dhamma yang kuajarakan kepada kalian, Dhamma yang kuketahui sangat banyak. Mengapa saya hanya mengajarkan sedikit kepada kalian, karena hal itu membawa pada pelenyapan penderitaan.
Jadi, kita tidak terlalu penting belajar banyak. Yang penting adalah apa yang kita pelajari itu bisa kita praktekkan sehingga membebaskan kita dari penderitaan.
Inti dari Dhamma adalah tidak berbuat keburukan, mengembangkan kebaikan, sucikan pikiran. Inilah yang bisa kita jadikan teladan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari, sudahkan saya mengurangi bahkan tidak melakukan hal-hal yang buruk? Apakah saya ada mengembangkan perbuatan baik dan mensucikan pikiran? Tentunya hanya diri kita sendiri yang mengetahui hal itu.
Dalam kehidupan sehari-hari berupaya mempraktekkan lima sila, maka kita akan terhindar dari perbuatan buruk. Lalu kita berupaya mengembangkan jalan mulia berunsur delapan. Inilah upaya kita mengembangkan kebaikan dan menyucikan pikiran. Dengan kata lain, apakah setiap hari saya ada mengembangkan sila, samadhi, dan pañña?
Sudahkah kita mempraktekkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari? Jika sudah sebenarnya kita bisa menjadikan diri kita sendiri teladan. Tidak perlu lagi kita melihat keluar siapa yang bisa kita jadikan teladan. Ini karena kita sudah hidup dalam Dhamma.
Mari, kita menjadikan Dhamma sebagai teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Meneladani Sangha
Sangha adalah kumpulan para bhikkhu. Para bhikkhu ada dua jenis, ada yang sudah mencapai kesucian dan ada yang belum. Yang mencapai kesucian itu sedikit, sedangkan yang masih berlatih banyak. Kita mungkin sulit menemukan para bhikkhu yang sudah mencapai kesucian, kita lebih banyak bertemu dan bergaul dengan para bhikkhu yang masih berlatih. Karena itu dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin melihat tingkah laku para bhikkhu yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kita sering berharap para bhikkhu adalah panutan kita, tetapi sering tidak sesuai dengan harapan. Tentulah kita tidak perlu kecewa karena seperti yang disebutkan di atas, para bhikkhu itu masih berlatih, tentu adalah wajar jika masih berbuat salah. Mereka juga mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Orang sering berkata, menjadi bhikkhu itu enak. Segala sesuatu diurus dan ditanggung umat. Tentu ini memerlukan pemikiran yang lebih jauh. Jika menjadi bhikkhu itu enak, mengapa yang mau menjadi bhikkhu itu sangat sedikit. Dengan vihara yang semakin banyak dan harapan supaya setiap vihara dihuni oleh bhikkhu, ini seperti mimpi. Jumlah vihara tidak sebanding dengan jumlah bhikkhu.
Setiap tahun diadakah pabbajja samanera dengan harapan supaya bisa terjaring orang-orang yang berminat menjadi bhikkhu, tapi ini tidak sesuai harapan. Yang ingin menjadi bhikkhu sangat sedikit.
Untuk menjadi seorang bhikkhu tentu tidak mudah karena berbeda dengan kehidupannya sehari-hari. Tentunya ini memerlukan perjuangan. Dia harus belajar hidup sederhana dan bisa menerima keadaan apapun.
Dimulai dengan menjadi seorang samanera dua minggu. Banyak yang mempergunakan kesempatan ini untuk uji coba saja, untuk merasakan bagaimana sih rasanya memakai jubah. Ada yang mengikutinya karena iseng saja, yaitu untuk mengisi waktu liburan, daripada tidak tahu mau kerja apa saat liburan, jadi samanera saja, begitu pikiran banyak orang. Orang yang sungguh-sungguh ingin berlatih sangatlah sedikit jumlahnya.
Bagi yang sungguh-sungguh ingin berlatih, setelah dua minggu bisa dilaluinya, dia akan melalui tahap selanjutnya, tiga bulan, dimana dua bulan diisi dengan meditasi. Jika dia masih sanggup, dia akan melalui tahap selanjutnya, yaitu samanera dua tahun. Dia diharap bisa belajar Dhamma lebih mendalam dan juga pengabdian kepada masyarakat luas. Jika bisa melalui semua tahap ini, ia bisa menjadi seorang bhikkhu.

Dari sini kita lihat, untuk menjadi seorang bhikkhu tidak mudah. Memerlukan kesungguhan, ketekunan, dan perjuangan. Karena apa yang dilakukannya, sungguh berbeda dengan kehidupannya sebelumnya. Itu sebabnya jumlah bhikkhu sangat sedikit. Setelah menjadi bhikkhu, dia akan dihadapkan lagi dengan bukan hanya harus membina dirinya, tapi juga harus membina masyarakat luas. Karena itu, sering kita jumpai bhikkhu yang sibuk. Mereka bukan saja memikirkan diri mereka sendiri, mereka juga berharap Dhamma bisa tersebar luas, sehingga banyak orang yang dapat merasakan manfaat praktek Dhamma. Maka mereka pun melakukan pelayanan kepada masyarakat luas, baik melalui ceramah, dan lain-lain.
Mengenai bhikkhu yang lepas jubah, kita tidak perlu kaget dan kecewa. Mereka masuk Sangha dengan senang hati dan tanpa paksaan. Demikian pula, jika mereka tidak lagi berbahagiah dalam Dhamma Vinaya, dengan senang hati dan tanpa paksaan, mereka bisa keluar. Jadi kita tidak perlu kecewa karena ini. Banyak hal-hal yang bisa kita jadikan teladan dari seorang bhikkhu.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka berupaya hidup sesederhana mungkin. Dimulai dari makan dua kali sehari, bahkan ada yang makan sehari sekali. Dengan melakukuan hal ini, batin mereka menjadi lebih kuat, badan jasmani pun menjadi sehat. Mereka tidak perlu binggung dan kacau, mau makan apa nanti sore atau malam? Dengan melakukan hal itu, mereka jadi mempunyai waktu lebih untuk membina masyarakat atau pun bermeditasi.
Pakaian atau jubah yang mereka pakai, hanya terdiri dari dua set dengan model yang sama. Seorang bhikkhu, mau ke tempat umum, pertemuan, rapat, bahkan ke rumah sakit atau rumah duka, akan memakai jubah yang sama. Tentu ini satu kemudahan dibandingkan umat yang akan binggung dengan pakaian yang harus disesuaikan dengan keadaan. Karena harus menyesuaikan dengan keadaan, maka mereka harus mempunyai pakaian yang cukup banyak, sedangkan seorang bhikkhu akan terbebas dari pemikiran tentang pakaian apa yang akan dipakai.
Seorang bhikkhu benar-benar mengabdikan hidupnya untuk Dhamma. Ketika memutuskan menjadi bhikkhu, maka bhikkhu itu menjadi milik masyarakat umum. Mereka melayani siapa saja, dari kalangan siapa saja, yang kaya maupun yang miskin.          Mereka tidak hidup berumah tangga. Dengan tidak hidup berumah tangga, itu merupakan kesempatan bagi mereka untuk bisa lebih melayani banyak orang. Jika berumah tangga, maka seseorang akan terkuras waktu dan tenanganya untuk keluarganya, pasangannya, juga anak-anaknya. Karena itu, para perumah tangga tidak mempunyai waktu yang lebih banyak dibandingkan para bhikkhu. Dengan waktu yang terkuras untuk keluarga, mereka akan sulit untuk sepenuhnya mengabdikan dirinya dalam Dhamma. Bahkan untuk meditasi mereka kadang tidak punya waktu. Sewaktu pulang dari kerja, mereka sudah kelelahan.
Mari, kita menjadikan Sangha sebagai teladan dalam kehidupan sehari-hari.

No comments:

Post a Comment