Mengurai Kekusutan
Oleh: Drs. Ashin Kusaladhamma, B.A. (B.Dh.), M.M.
Pendahuluan

Selama periode waktu tersebut saya terbawa dalam arus dan tenggelam dalam kesederhanaan, ketulusan, kemurahhatian, keheningan, kejujuran, kegigihan, ketegaran, ataupun atribut lainnya yang sulit saya ungkapkan dari pola hidup masyarakat Myanmar. Semua itu telah saya rasakan dan memberikan kesan yang mendalam dan sulit untuk dihapuskan. Bagaimanapun juga saya harus pulang kembali ke Indonesia karena beberapa alasan. Saya sangat terpukau dengan situasi yang ada di Indonesia saat ini yang sangat berbeda dari apa yang dapat saya bayangkan sebelum menginjakkan kaki kembali di tanah Indonesia. Disamping hal-hal yang positif yang memberikan kemajuan, saya juga melihat pola hidup dan tingkah laku masyarakat Indonesia yang saya umpamakan sebagai telah terjerat dalam jalinan kekusutan yang sulit untuk diurai.
Saya melihat dan mendengar dari berita televisi, surat kabar, ataupun pembicaraan orang mengenai berbagai cara pemuasan kesenangan nafsu indriawi, kegarangan dalam berdemonstrasi, perebutan kekuasaan, bermacam-macam kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, pencurian, korupsi dari kelas teri sampai kelas paus yang terjadi. Saya sungguh kaget atas semuanya itu dan timbul pertanyaan dalam pikiran saya siapa yang mampu mengurai atau menuntaskan kekusutan masalah ini dan bagaimanakah caranya.
Khotbah tentang Kekusutan
Ada suatu kejadian menarik yang terjadi pada masa kehidupan Buddha Gotama lebih dari 2500 tahun yang lalu yang kemudian dituliskan dalam Saṁyutta Nikāya. Peristiwa tersebut ternyata juga mengungkapkan masalah kekusutan kehidupan makhluk hidup. Sebuah Sutta pendek dari Devatāsaṁyutta, dalam Sagātha Vagga Saṁyutta yang berjudul Jaṭā Sutta atau Khotbah tentang Kekusutan: