Tuesday, 29 March 2016

Mengurai Kekusutan

Mengurai Kekusutan
Oleh: Drs. Ashin Kusaladhamma, B.A. (B.Dh.), M.M.

Pendahuluan
          Saya telah melewati waktu sekurang-kurangnya sepuluh tahun di negara asing, di negara di mana orang pada umumnya memiliki persepsi negatif karena alasan ketidakstabilan politik di negara tersebut. Oleh orang-orang Inggris yang telah menjajah negara tersebut selama seratus tahun, mereka menyebutnya Burma, tetapi sekarang kita lebih mengenalnya dengan nama Myanmar. Berbeda dengan pendapat orang pada umumnya tersebut, saya justru sangat menyukai negara tersebut karena tidak saja saya dapat merasakan dan bergaul dengan komunitas masyarakat negara tersebut yang mayoritas umat Buddha tetapi juga saya dapat menimba pengetahuan tentang ajaran Buddha khususnya ajaran Theravada yang sangat terjaga kemurniannya yang saya sangat yakin melebihi apa yang ada di negara-negara Buddhist yang lainnya.

          Selama periode waktu tersebut saya terbawa dalam arus dan tenggelam dalam kesederhanaan, ketulusan, kemurahhatian, keheningan, kejujuran, kegigihan, ketegaran, ataupun atribut lainnya yang sulit saya ungkapkan dari pola hidup masyarakat Myanmar. Semua itu telah saya rasakan dan memberikan kesan yang mendalam dan sulit untuk dihapuskan. Bagaimanapun juga saya harus pulang kembali ke Indonesia karena beberapa alasan. Saya sangat terpukau dengan situasi yang ada di Indonesia saat ini yang sangat berbeda dari apa yang dapat saya bayangkan sebelum menginjakkan kaki kembali di tanah Indonesia. Disamping hal-hal yang positif yang memberikan kemajuan, saya juga melihat pola hidup dan tingkah laku masyarakat Indonesia yang saya umpamakan sebagai telah terjerat dalam jalinan kekusutan yang sulit untuk diurai.

          Saya melihat dan mendengar dari berita televisi, surat kabar, ataupun pembicaraan orang mengenai berbagai cara pemuasan kesenangan nafsu indriawi, kegarangan dalam berdemonstrasi, perebutan kekuasaan, bermacam-macam kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, pencurian, korupsi dari kelas teri sampai kelas paus yang terjadi. Saya sungguh kaget atas semuanya itu dan timbul pertanyaan dalam pikiran saya siapa yang mampu mengurai atau menuntaskan kekusutan masalah ini dan bagaimanakah caranya.

Khotbah tentang Kekusutan
          Ada suatu kejadian menarik yang terjadi pada masa kehidupan Buddha Gotama lebih dari 2500 tahun yang lalu yang kemudian dituliskan dalam Saṁyutta Nikāya. Peristiwa tersebut ternyata juga mengungkapkan masalah kekusutan kehidupan makhluk hidup. Sebuah Sutta pendek dari Devatāsaṁyutta, dalam Sagātha Vagga Saṁyutta yang berjudul Jaṭā Sutta atau Khotbah tentang Kekusutan:

Sejarah Pattidana Ching Ming (Ceng Beng) dalam ajaran Buddha

Dalam literature Tipitaka, berkenaan dengan riwayat hidup Buddha, diceritakan bahwa pada suatu ketika Buddha sedang menetap di Hutan Bambu Veluvana, tempat tersebut adalah hasil dari kedermawanan seorang raja yang bernama Bimbisara. Raja Bimbisara merupakan raja pertama yang menyatakan untuk menjadi penyokong dan pengikut Buddha.

Malam itu raja Bimbisara melewati malam yang sangat mengerikan seumur hidupnya. Ia tidak bisa tidur karena mendengar lengkingan dan suara-suara hantu  (peta) yang mengerikan di sekitar kediaman sepanjang malam. Menghadapi kenyataan itu Ia menjadi sangat ketakutan, hingga bulu kuduknya berdiri, rambut menjadi tegak. Ia sungguh ketakutan di malam itu. Karena merasa sangat menderita, pada pagi harinya Raja menemui Buddha, di kediaman-Nya Veluvana.